- Pengertian Ruwatan
- Asal-usul Ruwatan
- Persyaratan untuk Melakukan Ruwatan
- Makna Ruwatan
- Siapa Saja yang Harus Diruwat?
- Jenis-jenis Ruwatan 1. Ruwatan Rasul 2. Ruwatan Pertunjukan Wayang Beber 3. Ruwatan Pertunjukan Wayang Kulit 4. Ruwatan Massal 5. Ruwatan Agung 6. Ruwatan Iringan Sesajian 7. Ruwatan untuk Ketentraman Batin
Tradisi ruwat atau ruwatan telah mengakar kuat dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa. Tradisi tersebut biasanya dilaksanakan saat bulan Muharram.
Lebih dari sekadar ritual, ruwatan menyimpan makna mendalam tentang kebebasan seseorang. Lantas, apa itu ruwatan, asal-usul ruwatan, makna ruwatan, siapa yang harus diruwat, dan jenis-jenis ruwatan? Selengkapnya akan dibahas di dalam artikel ini.
Pengertian Ruwatan
Dilansir dari laman surakarta.go.id, ruwatan merupakan sebuah upacara yang berasal dari Jawa dan digunakan untuk membebaskan atau melepaskan seseorang dari hukuman atau kutukan yang membawa sial atau membahayakan. Sementara dalam bahasa Jawa, ruwatan memiliki arti "dilepas" atau "dibebaskan".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Ruwatan
Dilansir dari sumber yang sama, asal-usul ruwatan ini berasal dari cerita pewayangan. Kisah yang menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang istimewa memiliki dua orang istri, yang bernama Pademi dan Selir. Dari Pademi, Batara Guru memiliki seorang anak laki-laki bernama Wisnu, sedangkan dari Selir, ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Batarakala.
Ketika Batarakala dewasa, ia menjadi sosok yang jahat dan kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakannya. Konon, sifat jahat Batarakala ini disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah, Batara Guru, yang tidak terkendali.
Dalam suatu peristiwa, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru muncul dan ia ingin bersetubuh dengan Selir. Namun, Selir menolak dan air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Air mani tersebut kemudian berubah menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batarakala.
Konon, Batarakala meminta makanan berupa manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengizinkan dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah wong sukerto, yaitu orang-orang yang mendapat kesialan, seperti anak tunggal. Oleh karena itu, setiap anak tunggal harus menjalani ruwatan agar terhindar dari malapetaka dan kesialan.
Persyaratan untuk Melakukan Ruwatan
Dalam pelaksanaan tradisi ruwatan, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sajen. Sajen adalah makanan dan benda lain, seperti bunga, yang digunakan sebagai sarana komunikasi atau interaksi dengan makhluk tak kasat mata atau ghaib.
Dalam tradisi ruwatan, terdapat beberapa jenis sajen yang diperlukan saat memulai upacara ruwatan. Sajen tersebut tidak hanya terbatas pada makanan, melainkan juga mencakup berbagai benda lainnya, seperti bunga, padi, kain, dan sejumlah barang lainnya yang tak terhitung.
Setelah sajen telah tersedia, acara yang dilakukan dalam upacara ruwatan meliputi hal berikut: pertunjukan wayang sebagai pemandu pagelaran yang disebut dalang. Lakon yang dipentaskan adalah lakon khusus yang disebut Murwakala, dan juga disajikan sesaji khusus untuk memuja Batarakala.
Makna Ruwatan
Makna dari ruwatan Jawa adalah memohon dengan tulus agar orang yang diruwat dapat terbebas dari bencana dan mendapatkan keselamatan. Oleh karena itu, upacara ruwatan dilakukan untuk melindungi manusia dari berbagai bahaya yang ada di dunia.
Hingga saat ini, tradisi ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena berhubungan dengan keselamatan anak tunggal dan keluarganya. Selain itu, masyarakat juga berhasrat untuk menjaga dan mempertahankan warisan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur.
Siapa Saja yang Harus Diruwat?
Tidak semua orang perlu diruwat. Biasanya, tradisi ini dilakukan bagi mereka yang dianggap memiliki "kelemahan" atau "keistimewaan" tertentu. Melansir dari berbagai sumber, berikut orang-orang yang perlu diruwat:
- Ontang-anting: anak tunggal laki-laki
- Unting-unting: anak tunggal perempuan
- Uger-uger lawang: dua orang anak laki-laki semua
- Kembang sepasang: dua orang anak perempuan semua
- Gedhana-gedhini: dua orang anak, laki-laki dan perempuan
- Gedhini-gedhana: dua orang anak perempuan dan laki-laki, yang tua perempuan
- Pendawa: lima orang anak laki-laki semua
- Pendawa ngayomi: lima orang anak perempuan semua
- Pendawa madangake: lima orang anak, empat orang di antaranya laki-laki
- Pendawa apit-apit: lima orang anak, empat di antaranya perempuan
- Ontang-anting lumunting tunggaking aren: anak tunggal yang di tengah kedua alisnya terdapat titik putih bermuka pucat
Selain itu, ada juga beberapa kondisi lain yang dianggap perlu diruwat, seperti orang yang sering sakit-sakitan, orang yang sering mengalami kesialan, atau orang yang ingin memulai usaha baru.
Jenis-jenis Ruwatan
Dalam jurnal "Ruwatan dalam Budaya Jawa" karya S. Reksosusilo disebutkan ada berbagai bentuk atau jenis ruwatan. Berikut di antaranya:
1. Ruwatan Rasul
Ruwat rasul yang berwujud selamatan biasa. Ruwatan tersebut digelar untuk mohon keselamatan bagi seseorang yang dilakukan para agamawan (Islam). Sifatnya religius.
2. Ruwatan Pertunjukan Wayang Beber
Ruwatan dengan pertunjukan wayang beber mengambil cerita Jaka Kembang Kuning. Cerita ini juga biasa dipentaskan dalam wayang gedok. Ruwatan bentuk ini jarang dilakukan karena kurang artistik.
3. Ruwatan Pertunjukan Wayang Kulit
Ruwatan dengan pertunjukan wayang kulit dengan cerita Dalang Kanda Buwana atau Dalang Karungrungan. Dalam cerita itu muncul tokoh Batara Kala. Ruwatan ini populer dan sakral di kalangan orang Jawa.
4. Ruwatan Massal
Ruwatan massal ialah bentuk ruwatan bersama-sama dari sekian banyak sukerto. Ruwatan massal seringkali telah berbau komersial. Ada panitia khusus yang mengurusi dari awal sampai akhir.
Segi praktisnya biaya menjadi hemat karena ditanggung oleh banyaknya para sukerto yang ikut. Tidak jelas apakah dalam ruwatan ini upacara dengan cerita Murwakala juga diikuti secara ketat.
5. Ruwatan Agung
Ruwatan Agung ialah ruwatan yang dilakukan secara seremonial diikuti kelompok dalam jumlah besar. Seorang dukun atau paranormal menyelenggarakan ruwatan ini ketika kondisi bangsa semakin terpuruk.
Ada lagi ruwatan Agung untuk penyembuhan penyakit. Tidak jelas juga apakah Wayang Murwakala dan para sukerto masih menjadi pusat upacara.
6. Ruwatan Iringan Sesajian
Dewasa ini ada upacara iringan sesajian sebagai tanda syukur atas hasil panen dan keselamatan desa, serta mohon perlindungan yang mahakuasa. Upacara ini juga disebut ruwatan. Upacara wayang Murwakala dan para sukerto tidak terungkapkan.
7. Ruwatan untuk Ketentraman Batin
Akhir-akhir ini dari kelompok-kelompok agama (Islam, Kristen, Katolik) yang mengadakan upacara ruwatan dengan maksud untuk mencapai ketentraman batin dan hilangnya peristiwa yang menggelisahkan hati.
Kadang-kadang disertai pertunjukan wayang Murwakala, tetapi unsur orang sukerto sudah kabur, berbeda dengan ungkapan dari pola pakem. Upacara ini sekedar untuk ketenangan batin.
(hil/iwd)