Mengenal Makna-Filosofi Tradisi Nyalase, Ziarah Kubur Masyarakat Madura

Mengenal Makna-Filosofi Tradisi Nyalase, Ziarah Kubur Masyarakat Madura

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Rabu, 12 Jun 2024 19:00 WIB
Muslim woman praying in cemetery - Rear view
Ilustrasi ziarah kubur (Foto: Getty Images/Enes Evren)
Surabaya -

Di balik kemeriahan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, masyarakat Madura memiliki tradisi unik yang tak lekang oleh waktu, yaitu Nyalase. Tradisi yang identik dengan ziarah kubur ini bukan sekadar ritual biasa, namun sarat makna dan nilai budaya yang dijunjung tinggi.

Bagi masyarakat Madura, Nyalase bagaikan benang kuat yang merajut silaturahmi antar keluarga dan melestarikan warisan budaya leluhur. Di momen istimewa ini, mereka kembali ke kampung halaman, berkumpul bersama, dan menyapa sanak saudara yang telah tiada di peristirahatan terakhir.

Lebih dari sekadar ziarah, Nyalase menjadi wadah untuk mengenang jasa leluhur, meneladani nilai-nilai luhur mereka, dan memperkuat rasa persatuan keluarga. Tradisi ini pun menjadi pengingat bagi generasi muda tentang asal-usul mereka dan pentingnya menjaga tradisi leluhur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Nyalase, Ziarah Kubur di Madura

Nyalase, yang dilakukan usai melaksanakan salat Id, adalah tradisi di mana masyarakat Madura berziarah ke makam keluarga atau leluhur. Kegiatan ini bisa dilakukan secara bersama-sama sekampung, dengan keluarga besar, atau bahkan hanya dengan keluarga kecil. Namun, syarat utamanya adalah mereka yang berziarah harus memiliki anggota keluarga yang dimakamkan di tempat tersebut.

Tradisi ini sangat umum di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), terutama yang tinggal di pedesaan. Meskipun begitu, tidak semua orang Madura menjalankan nyalase, karena tidak ada aturan yang mengikat untuk melakukannya. Dalam bahasa Madura, tradisi ini bersifat "sakencengah" atau bebas, artinya orang boleh ikut atau tidak sesuai keinginan mereka.

ADVERTISEMENT


Pelaksanaan Tradisi Nyalase di Beberapa Desa

Di Dusun Bates, Desa Ragang, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, nyalase biasanya dipimpin oleh tokoh agama setempat yang juga menjadi imam salat Id. Jika ada warga yang tidak bisa bergabung pada waktu yang ditentukan, mereka akan menyusul kemudian.

Tradisi ini tidak hanya sekadar ziarah, tetapi juga menjadi momen untuk membaca Yasin dan tahlilan bersama di area pemakaman. Selain itu, tradisi nyalase juga dilakukan di Dusun Lonsaba, Desa Tlagah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang.

Warga setempat melakukan ziarah ke makam para leluhur mereka pada hari kedua Idul Fitri. Aktivitas ini dimulai dengan doa bersama di makam terbesar di dusun tersebut, yang dikenal sebagai Bujuk.

Bujuk adalah sebutan untuk tokoh-tokoh yang dihormati karena jasa-jasanya dalam bidang keagamaan maupun lainnya, berkaitan dengan sejarah penting hingga asal-usul daerah tersebut. Di Dusun Lonsaba, terdapat dua Bujuk yang terkenal, yaitu Bujuk Banggas bin Sayyid Khotib dan Bujuk Salar bin Banggas.

Tradisi di desa ini umumnya diawali dengan kegiatan gotong royong membersihkan makam pada hari ke-21 dan ke-27 Ramadan. Pembersihan ini bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan Nyalase.


Makna dan Filosofi Nyalase

Nyalase memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Madura. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, tradisi ini juga bertujuan untuk mengingatkan masyarakat akan asal-usul dan pentingnya menjaga hubungan dengan para pendahulu.

Kegiatan ini juga memperkuat tali silaturahmi antarwarga, baik dalam satu kampung maupun antar desa. Tradisi nyalase juga memiliki hikmah penting dalam pelaksanaannya, yaitu:

1. Membaca Al-Qur'an

Meski tidak ada anjuran khusus dalam Islam untuk membaca Yasin di kuburan, kegiatan ini diyakini membawa pahala dan berkah bagi ahli kubur.

2. Tahlilan

Sebagai bagian dari ciri khas Islam Nusantara, tahlilan menjaga nilai-nilai keislaman dalam budaya Madura, khususnya di kalangan NU.

3. Ziarah Kubur

Mengingatkan masyarakat akan kematian, mendorong introspeksi diri, dan mendoakan anggota keluarga yang telah meninggal.

4. Silaturahmi

Menjaga hubungan antar keluarga dan masyarakat, memperkuat ikatan sosial, dan menjalin kebersamaan.

Dalam ajaran Islam, ziarah kubur dianjurkan untuk mengingat kematian dan mendoakan mereka yang telah meninggal. Nyalase menjadi manifestasi dari ajaran ini, dengan tambahan nilai-nilai budaya lokal yang kaya.

Nyalase dan Mudik

Bagi masyarakat Madura, tradisi nyalase dan mudik (toron) pada saat Lebaran adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bagi masyarakat Madura, momen Lebaran adalah waktu yang langka dan istimewa untuk berkumpul dengan keluarga lengkap dan menjalankan nyalase bersama.

Tak heran, bagi masyarakat Madura, nyalase bukan hanya sekadar tradisi ziarah kubur biasa, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan mereka, terutama pada momen Idul Fitri dan Idul Adha.

Oleh karena itu, setiap Lebaran, banyak perantau asal Madura yang kembali ke kampung halaman untuk ikut serta dalam tradisi ini. Nyalase adalah tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakat Madura.

Melalui tradisi ini, masyarakat tidak hanya menghormati leluhur tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan keluarga. Tradisi ini juga menjadi salah satu cara masyarakat Madura untuk terus mengingat asal-usul mereka dan menjaga kelestarian nilai-nilai budaya lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.


Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads