Seorang lelaki tua memakai baju batik lengan panjang lusuh warna hijau daun dipadu celana panjang berbahan kain. Peci hitam di kepalanya menambah kesan santun dan sederhana.
Sandal selopnya tak lagi berwarna hitam. Matanya cekung, redup, dengan tatapan dalam tetapi kosong. Suaranya lirih menjawab sapa setiap orang yang melintas di hadapannya.
Pria bernama Mathorah (81) itu warga asli Desa Pakel yang turun temurun tinggal di Desa yang sejuk itu. Siang itu ia sengaja datang ke Kantor Desa Pakel untuk menerima dana tali asih dari PT Perkebunan Bumisari Maju Sukses.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat namanya dipanggil ia berdiri dengan payah dan berjalan tertatih menaiki empat anak tangga. Usianya sudah tidak muda lagi, kakinya sudah tak sekuat dulu.
Meski demikian, semangatnya tak redup untuk menjaga keluarganya. Terutama istri tercintanya, Sumanis (70). Dia menghidupi keluarga dari hasil panen manggis, durian, dan kopi.
Tanaman yang telah memberikan segalanya untuknya itu bahkan telah membuatnya mampu menyekolahkan anak dan satu cucunya.
Saat panen, satu batang manggis miliknya bisa menghasilkan uang Rp 7 juta hingga Rp 8 juta. Sedangkan dari pohon manggis ia bisa mengais Rp 4 juta hingga Rp 5 juta. Hampir sama dengan hasil pohon kopinya.
Panen yang tak bersamaan membuat Mathorah bisa mengatur pendapatan dan biaya hidup untuk keluarga kecilnya. Demikianlah ia menjalani hidupnya setiap tahun hingga renta.
Di siang yang cerah itu, matanya berkaca-kaca usai menerima amplop putih berisi rupiah. Jumlahnya memang tak sebanding dengan hasil panen kebunnya, tapi itu sangat membantunya.
"Terima kasih, Alhamdulillah. Yang kemarin-kemarin saya nggak ambil. Sekarang baru ambil karena pohon saya habis ditebangi orang, jadi sudah tidak punya penghasilan lagi ini, dengkul sakit, sudah tidak bisa kerja," ujar Mathorah, Rabu (5/6/2024).
Dengan memejamkan mata dan mencoba mengingat peristiwa menyedihkan itu, Mathorah bercerita bahwa ia dan istrinya awalnya belum tahu soal dana tali asih ini.
Dia menduga, warga usia lanjut seperti dia dan istrinya tidak mendapat bagian, namun setelah istrinya mengambil dana tali asih, ia tidak mengira kebun miliknya akan jadi sasaran ketidakpuasan orang tak dikenal.
"Banyak yang dipotong pohon punya saya, padahal waktu itu saya belum ambil tali asih ini. Cuma istri saya, Warga lain juga dipotong pohonnya tapi mereka kan yang ambil tali asih," ujarnya.
7 Pohon manggis, 4 pohon kopi, dan 1 pohon durian siap panen miliknya dipotong orang tak dikenal, Senin (13/5). Dia dikabari tetangganya dan langsung mendatangi kebun yang jaraknya 30 menit dari rumahnya.
"Dikasih tahu tetangga, marah saya, maunya saya itu saya balas itu jahat sekali. Pohon itu sudah menyekolahkan dan menghidupi keluarga saya. Tapi ditahan saya sama anak dan cucu saya," tegasnya.
Lelah dan jengah, Kholifah (23), cucu Mathorah berharap bisa hidup damai dan berdampingan dengan tetangga. Ia tak ingin tenggelam dalam selisih dan pertikaian karena yakin dengan perdamaian akan membuat kehidupan warga Pakel menjadi lebih baik.
"Sudah lah, kami sangat ingin bisa hidup damai dan tenteram. Rukun sesama tetangga, apalagi yang kita cari? Semua itu cuma ingin bisa kerja dengan baik. Kasihan kakek dan nenek saya nggak ngerti apa-apa jadi korban," ujarnya.
Kesampingkan emosi, inginkan hidup damai. Baca halaman selanjutnya.
Kondisi serupa dialami Sumairah (85). Sebanyak 14 pohon manggis, 3 pohon cengkeh dan 1 pohon durian miliknya ditebang orang tak dikenal, tepat 2 hari usai istrinya menerima dana tali asih.
Dia tak ingin menuding siapa pun, namun ia berharap siapa pun pelakunya mempertanggungjawabkan perbuatan di hadapan hukum. Karena dari pohon-pohon di kebunnya itulah ia menggantungkan hidup.
Bila dihitung-hitung, kehilangan 14 pohon berarti ia kehilangan puluhan juta rupiah setiap tahun.
"Pohon-pohon itu kan sudah saya tanam puluhan tahun umurnya dan dari situ saya membiayai hidup. Buat orang di sini, pohon-pohon itu seperti tempat menggantungkan hidup, habis sudah hilang sudah," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
![]() |
"Saya sudah tua, tapi kalau sampai ketemu saya pelakunya itu saya bacok juga dia. Biar tahu bagaimana rasanya disakiti seperti ini," tambahnya dengan nada bergetar.
Senada dengan Kholifah, asa damai itu yang terbersit dalam benak Sumairah. Ia berharap segera ada titik terang, dengan uang tali asih itu ia memperkirakan warga akan mengerti bahwa hidup tenang itu lebih menguntungkan.
"Sudah, mau cari apalagi. Saya ndak ngerti apa-apa. Saya tidak pernah ganggu siapa-siapa, ini saya ambil uang hak saya kenapa pohon saya yang ditebang. Untung dapat uang ini, bisa saya buat beli ayam biar ada buat makan," tegas Sumairah.
Sementara Nur Aini (54) kehilangan lebih banyak pohon di kebun miliknya. Warga Dusun Pakel Krajan ini harus mengikhlaskan 21 pohon miliknya mati setelah ditebang paksa oleh orang tak dikenal.
Dia segera melaporkan temuan itu ke Polresta Banyuwangi. Menurut Nur Aini, pemotongan pohon sebenarnya bukan hal baru di Desanya, ia tidak menduga bahwa dirimu turut menjadi korban.
Mewakili warga Pakel yang sebagian besar telah lelah dengan kondisi itu, Nur Aini berharap kehidupan yang damai, rukun, dan tentram bisa kembali terwujud di desanya.
"Warga Sini itu pinginnya semua damai bisa hidup dengan baik, bekerja dengan baik," kata Nur Aini.
Secercah asa damai warga Pakel diharapkan dapat terwujud lewat program yang digagas oleh Kapolresta Banyuwangi Kombes Nanang Haryono sejak awal Mei 2024 lalu.
Sebanyak 650 warga Pakel dengan suka rela mengambil dana taliasih sebesar Rp 3 juta dan memakainya untuk hal produktif.
Program ini akan terus bergulir dan diberikan secara bertahap kepada seluruh warga dengan kartu identitas Desa Pakel.