Hari ini, 29 Mei 2024 tepat 18 tahun semburan pertama dari lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lumpur panas ini lebih dikenal dengan sebutan lumpur Lapindo karena dioperasikan oleh PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk.
Pada 18 Mei 2006, PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran sedalam 8.500 kaki. Sebelum pengeboran dilakukan, pihaknya sempat diingatkan mengenai pemasangan pipa selubung yang harus dilakukan.
Namun pada 29 Mei 2006 pukul 05.30 WIB, warga mulai mencium bau gas menyengat. Bau itu berasal dari semburan lumpur panas dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas milik PT Lapindo Brantas. Lokasinya berjarak 150 meter dari permukiman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semburan itu pun tidak dapat dikendalikan. Lumpur panas tersebut semakin meluas, bahkan per harinya dapat menyembur mencapai sekitar 100 meter kubik.
Hingga kini, lumpur panas itu masih juga menyembur. Semburan ini dapat dilihat dari atas tanggul di titik 21 yang berada di Kelurahan Siring, Porong.
Zat Berbahaya dalam Lumpur Lapindo
Semburan lumpur Lapindo yang masih berlangsung sampai sekarang menyebabkan dampak besar. Tercatat pada 2008, sebanyak 25 ribu jiwa dari 8 desa di 3 kecamatan harus mengungsi. Dan 17 orang tewas.
Selain bersuhu tinggi, beberapa sumber menyebutkan bahwa lumpur Lapindo mengandung zat berbahaya yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Salah satu senyawa kimia yang mendominasi kandungan lumpur panas ini adalah senyawa fenol (C6H5OH).
Senyawa fenol umumnya mudah ditemukan di air buangan kilang. Ini termasuk dalam jajaran polutan yang kerap mencemari lautan sehingga menimbulkan masalah lingkungan.
Ada pula logam berat timbal yang terkandung di dalamnya. Logam ini biasa digunakan untuk keperluan produksi baterai penyimpanan untuk mobil. Logam timbal juga banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain karena sifatnya yang menguntungkan.
Logam timbal diketahui memiliki sifat yang lunak sehingga bisa dengan mudah diubah menjadi berbagai bentuk. Terlebih, densitas timbal yang tinggi jika dibandingkan logam lain dengan harga terjangkau menjadi kelebihan tersendiri.
Logam berat timbal bersifat tahan lama. Kandungan racunnya pun juga bisa bertahan dalam waktu yang sangat panjang.
Ini disebabkan sifat logam timbal yang cenderung mengendap di dasar perairan, alih-alih terurai. Oleh karena itu, logam timbal sangat gampang untuk mencemari air dan berpengaruh buruk terhadap proses biologis.
Dampak Zat Berbahaya Lumpur Lapindo
Di balik itu semua, zat-zat berbahaya tersebut menyimpan segudang dampak negatif. Kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan merupakan korban utama atas dampak yang ditimbulkan.
Seperti yang telah disebutkan, baik senyawa fenol maupun zat logam timbal sama-sama mencemari air laut. Lumpur Lapindo yang telah mengotori laut atau sumber air di sekitarnya dapat mengganggu pasokan air bersih masyarakat setempat.
Selain itu, kematian ikan dan organisme perairan akibat logam berat bisa terjadi peningkatan karena kationnya menginfeksi insang. Akibatnya, organ itu akan terselaputi oleh gumpalan lendir logam berat dan menyebabkan organisme mati lemas.
Tidak hanya sumber air, senyawa fenol dan zat logam turut berpeluang merusak perkebunan, hutan, dan area konservasi di sekitar tempat kejadian. Genangan lumpur membuat tanah tidak subur hingga menghancurkan tanaman.
Apabila ekosistem telah terganggu, dua senyawa ini dengan mudah memengaruhi kehidupan manusia dengan memicu sederet gangguan kesehatan. Mulai dari iritasi kulit, infeksi organ paru-paru, kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak jantung, hingga kematian.
Adapun paparan fenol dalam jangka panjang dan konsentrasi tinggi mampu memberi efek toksik pada organ manusia tertentu. Kerusakan ini bisa saja terjadi pada hati, ginjal, sistem saraf, dan sistem kardiovaskular.
Sementara itu, warga sekitar juga dirugikan dalam sektor ekonomi. Hilangnya lahan pertanian dan perkebunan akibat kandungan berbahaya lumpur Lapindo menyebabkan para petani kehilangan mata pencahariannya. Terlebih, kerusakan infrastruktur ikut menghambat aktivitas serta perekonomian daerah tersebut.
Artikel ini ditulis oleh Alifia Kamila, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)