Elemen Masyarakat Sipil Surabaya Konsolidasi Tolak Revisi UU Penyiaran

Elemen Masyarakat Sipil Surabaya Konsolidasi Tolak Revisi UU Penyiaran

Aprilia Devi - detikJatim
Rabu, 22 Mei 2024 23:00 WIB
Konsolidasi elemen masyarakat sipil Surabaya tolak revisi UU Penyiaran.
Konsolidasi elemen masyarakat sipil Surabaya tolak revisi UU Penyiaran. (Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Surabaya -

Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terus mendapatkan berbagai bentuk penolakan dari masyarakat. Elemen masyarakat sipil di Surabaya yang terdiri dari jurnalis, mahasiswa, konten kreator, seniman, hingga aktivis hak asasi manusia menggelar konsolidasi atas hal ini.

Ketua AJI Surabaya Eben Haezer mengatakan konsolidasi ini digagas Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur yang beranggotakan AJI, Kontras, dan LBH lentera. Tujuannya untuk menggali masukan dari dari berbagai pihak terkait RUU Penyiaran.

"Kami ingin menggali masukan dari mereka, pendapat mereka, terkait RUU Penyiaran. Dalam diskusi kali ini, kami sepakat bahwa ada prosedur yang salah dalam pembentukan RUU Penyiaran," ujar Eben kepada awak media, Rabu (22/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eben juga menilai ada sejumlah pasal 'aneh' yang muncul di RUU tersebut. Pasal-pasal itu sangat bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers yang tertuang dalam UU Pers.

"Misalnya 50b ayat 2c, yang secara spesifik melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Menurutnya di dalam UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka tentu RUU Penyiaran bertentangan dengan hal itu. Pelarangan ini juga berpotensi membatasi hak publik untuk memperoleh informasi.

"Ini juga melanggar kepentingan publik, karena haknya publik untuk tahu adalah hak asasi manusia, dan tugas itu amanah itu dititipkan kepada jurnalis," katanya.

Maka ia bersama masyarakat lainnya pun sepakat untuk menilak RUU ini. Kendati demikian, ia juga menyebut UU Penyiaran Nomor 23 Tahun 2002 juga masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.

Sejalan, Ketua IJTI Korda Surabaya Falentinus Hartayan mengatakan bahwa RUU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini sebaiknya tidak buru-buru disahkan.

"IJTI sendiri menilai, jangan terburu-buru RUU penyiaran ini menjadi undang-undang, karena ada banyak atau ada beberapa poin pasal-pasal yang kontroversial dan bermasalah," kata Falen.

Seperti pada pasal 50b ayat 2c yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Falen menilai pasal ini akan membunuh roh jurnalisme mereka.

Masalah lain ada di Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengeketa jurnalistik penyiaran.

"Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, itu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di mana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengeketa pers. Jadi di sini ada tumpang tindih," ujarnya.

Sementara itu Koordinator Kontras Surabaya, Fathul Khoir menilai RUU Penyiaran ini memiliki niat untuk mencederai demokrasi, memberangus kemerdekaan pers, hingga membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Menurutnya salah satu poin yang krusial ialah aturan yang membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa mengawasi platform digital penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A yang meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar.

Hal ini masih rancu. Artinya, wewenang KPI bisa berpotensi melakukan penyensoran di beberapa layanan internet, termasuk yang dibuat oleh para konten kreator.

Setelah konsolidasi ini, Fatkhul pun berharap seluruh elemen masyarakat sipil ikut bergerak melakukan kajian dan aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran ini.

"Kami akan terus mengkaji. Karena memang kita tahu bahwa revisi terhadap UU tidak bisa dihindarkan, tapi kemudian bukan seperti ini cara untuk membuat revisi UU, karena memang dari awal revisi ini tidak melibatkan partisipasi publik dan bahkan kami duga tidak melibatkan orang-orang yang punya kompetensi di dunia jurnalistik," pungkasnya.




(dpe/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads