Arti dan Ketentuan Pemakzulan, Siapa yang Berhak Memberhentikan Presiden?

Arti dan Ketentuan Pemakzulan, Siapa yang Berhak Memberhentikan Presiden?

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Kamis, 22 Feb 2024 10:52 WIB
Sidang tahunan MPR digelar hari ini. Menteri Kabinet Indonesia Maju hadir dalam sidang yang berlangsung di gedung DPR tersebut.
Ilustrasi sidang MPR. (Foto: Dok Sabqi/CNBC)
Surabaya -

Belakangan ini muncul wacana pemakzulan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Usut punya usut, wacana ini mencuat karena adanya dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang dilakukan presiden.

Lantas apa yang dimaksud dengan pemakzulan dan bagaimana syarat serta prosesnya? Siapa yang berhak memberhentikan presiden?

Melansir laman resmi MPR, wacana pemakzulan terhadap Presiden Jokowi bermula saat Mahfud Md menerima kunjungan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 pada 9 Januari 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah tokoh yang menamakan dirinya sebagai Petisi 100 itu menuntut pemakzulan atau pelengseran terhadap Presiden Jokowi. Namun, beberapa pihak juga meragukan hal tersebut dapat dilakukan, mengingat prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama.

ADVERTISEMENT

Pengertian Pemakzulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata makzul memiliki arti berhenti memegang jabatan atau turun tahta. Kata makzul memiliki kata turunannya lagi, yaitu memakzulkan dan pemakzulan.

Kata memakzulkan berarti menurunkan dari tahta, memberhentikan dari jabatan dan meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai raja, atau berhenti sebagai raja. Sedangkan, kata pemakzulan berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pemakzulan presiden berarti sebuah proses untuk memberhentikan presiden dari posisinya. Lalu, lembaga negara yang mana yang bisa memberhentikan presiden?

Sebenarnya, hukum tentang pemakzulan terdapat di dalam UUD 1945. Hanya saja, UUD 1945 tidak menggunakan istilah makzul, memakzulkan, dan pemakzulan, melainkan dengan kata diberhentikan atau pemberhentian.

Ketentuan Pemakzulan

Masa jabatan presiden telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut menjelaskan bahwa "Presiden dan Wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Meskipun begitu, presiden bisa diberhentikan di tengah masa jabatannya. Dan, lembaga negara yang berhak memberhentikan presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Namun, MPR tidak serta merta bisa memakzulkan presiden. Pemakzulan presiden oleh MPR atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta harus memenuhi syarat dan ketentuan untuk memberhentikan presiden.

Ketentuan khusus untuk melakukan proses pemakzulan sudah dijelaskan secara rinci di dalam UUD 1945. Alasan-alasan pemakzulan tersebut tepatnya terletak pada Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses Pemakzulan

Setelah mengetahui apa itu pemakzulan dan ketentuannya, lantas bagaimana proses pemakzulan yang disebut memakan waktu cukup lama? Proses pemakzulan juga telah tercantum di UUD 1945, tepatnya pada Pasal 7B. Berikut proses pemakzulan berdasarkan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945.

1. DPR Mengusulkan Pemakzulan Presiden ke MK

Sebelum mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar hukum.

Pelanggaran hukum tersebut berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil Presiden.

2. Pelanggaran Hukum Presiden dalam Pengawasan DPR

Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

3. Syarat Jumlah Anggota DPR untuk Mengusulkan Pemakzulan

Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

4. Usulan Diperiksa MK

Usai menerima usulan pemakzulan presiden dari DPR, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut. Batas waktunya paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima MK.

5. DPR Mengusulkan Pemakzulan Presiden ke MPR

DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Sidang paripurna dilakukan apabila MK telah memutuskan presiden dan/atau wakil presiden terbukti bersalah.

Dalam hal ini, MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

6. Sidang MPR soal Pemakzulan Presiden

Usai menerima usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut. Sidang dilakukan paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.

7. Keputusan MPR

Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Keputusan ini ditetapkan setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads