Kasus kekerasan pada perempuan dan anak masih sering terjadi. Salah satu yang mencuat, kasus kekerasan pada anak usia 9 tahun di Surabaya yang dilakukan oleh ibu kandungnya.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Surabaya membeber beberapa penyebab yang bisa memicu terjadinya kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Yakni masalah individual, sosial dan hukum.
"Jadi memang kekerasan terhadap perempuan dan anak ini masalah sosial yang kompleks dan multifaktor. Ada beberapa faktor, di antaranya individual, sosial dan hukum," kata Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A-PPKB Surabaya, Thussy Apriliyandari, Jumat (26/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Thussy menjelaskan, untuk faktor individual, bisa disebabkan karena lingkungan keluarga. Banyak pelaku dan korban kekerasan, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis.
"Di mana (pelaku) menganggap kekerasan ini hal yang wajar. Tidak perlu dilaporkan, tidak perlu ditindaklanjuti, dan mereka itu tidak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan salah dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," jelasnya.
Lalu, tidak adanya kesadaran pelaku akan tindakan kekerasan. Sebab, banyak pelaku kekerasan yang tak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya dapat menyakiti atau merugikan korban.
"Apakah dia (korban) anak kandung sendiri, atau siapapun itu dalam lingkungan keluarga. Mereka itu merasa berhak melakukan kekerasan, karena misalnya (pelaku) orang yang memberi uang untuk korban," ujarnya.
Selain kurangnya kesadaran, faktor individual juga dipicu dari pelaku yang memiliki karakter keras, agresif, impulsif, egois dan tidak sabaran. Sementara, faktor lain yang bisa memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak ialah masalah sosial budaya patriarki.
Pada beberapa kasus, menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior. Kesetaraan gender belum diindahkan dalam kasus seperti ini.
"Kedua adalah pengaruh media massa, media sosial dan sebagainya. Gadget itu luar biasa pengaruhnya. Ini dapat berperan dalam memicu terjadinya kekerasan," urainya.
Selain faktor individual dan sosial, kurangnya kesadaran terhadap hukum juga memicu terjadinya kasus kekerasan. Padahal, kekerasan terhadap perempuan dan anak telah diatur jelas dalam UU di Indonesia.
"Hukum kita di Indonesia sudah ada undang-undang perlindungan dan sebagainya. Tapi yang tidak paham itu masyarakatnya atau pelaku. Jadi mereka tidak paham apa yang dilakukan itu ada konsekuensi hukum," tambahnya.
Menurutnya, faktor hukum seorang pelaku melakukan kekerasan juga bisa dipicu karena merasa memiliki korban. Misalnya, korban merupakan anak kandung dari pelaku.
Bagaimanapun, lanjut dia, hal terpenting dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah lingkungan keluarga. Baik itu orang tua maupun anak, harus kembali memegang teguh ajaran agama masing-masing.
"Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan terhadap keluarga, apakah golongan-golongan minoritas yang lemah yaitu perempuan dan anak. Kemudian faktor terbesar lain adalah ekonomi," pungkasnya.
(hil/fat)