Kritik Pengamat HI Unej soal Debat Ketiga Pilpres 2024

Kritik Pengamat HI Unej soal Debat Ketiga Pilpres 2024

Dida Tenola - detikJatim
Jumat, 05 Jan 2024 21:01 WIB
Dosen HI pengamat politik Unej, Agus Trihartono
Pengamat HI Unej Agus Trihartono. (Foto: Dok. Agus Trihartono for detikJatim)
Surabaya -

Pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Jember (Unej) Agus Trihartono mengkritisi tema debat ketiga Pilpres 2024. Debat ketiga Pilpres 2024 bakal berlangsung, Minggu (7/1/2023). Tema debat tersebut adalah Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik.

Menurut Agus Tri, perdebatan antara ketiga capres cenderung akan berkutat di seputar hard power. Artinya, isu militer dan ekonomi sangat mungkin akan lebih mendominasi di dalam debat tersebut.

"Jadi yang saya lihat juga dari panelis yang diambil itu semuanya para ahli dalam hard power ya. Diskusi tentang itu (militer dan ekonomi) tentu tidak salah dan itu memang core-nya hubungan internasional, tapi dunia sekarang itu tidak melulu memberi perhatian ke isu hard power harusnya," jelas Agus Tri kepada detikJatim, Jumat (5/1/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia melanjutkan, hard power memang penting bagi pergaulan sebuah negara di dunia internasional. Namun, saat ini sudah banyak negara lain yang juga peduli pada aspek soft power.

"Soft power itu menjadikan negara lain atau masyarakat internasional mengikuti, bahkan pro pada suatu negara karena tertarik pada tiga aspek. Satu kepada budaya, kedua kepada kebijakan politik, dan yang ketiga kepada value," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Agus Tri lantas mencontohkan betapa besarnya pengaruh K-Pop. Tanpa disadari banyak orang, Korea Selatan begitu punya kekuatan besar untuk memberi pengaruh pada dunia internasional lewat budaya K-Pop tersebut.

"Orang tidak tahu loh bahwa dari K-Pop itu bukan hanya citra Korea Selatan yang semakin seolah-olah sangat dekat kepada kita, tapi juga uang kita juga lari ke sana tanpa kita terasa, gitu loh," ungkap dosen HI yang meraih gelar master dan doktornya di Graduate School of International Relations (GSIR), Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang tersebut.

Indonesia sendiri, kata Agus, punya potensi yang sangat besar di aspek soft power, baik value, policy, maupun budayanya. Termasuk di dalamnya melalui kulinernya. Banyak daerah di Indonesia punya kuliner khas, dari Sabang hingga Merauke.

Agus Tri memaparkan, sebuah negara bisa punya power melalui kuliner. Dalam ilmu hubungan internasional dikenal dengan istilah gastrodiplomacy.

"Yang menarik, dua periode presiden Jokowi adalah periode di mana gastrodiplomacy itu diperhatikan. Jadi, di era Jokowi periode pertama di 2016 memperkenalkan brand power (gastrodiplomacy), lalu tahun 2021, Jokowi memperkenalkan Indonesia Spice Up The World (ISUTW). Itu ada, Jokowi sudah berpikir jauh ke ranah itu. Nah, kalau yang sekarang (para capres-cawapres) malah membahas isu militer melulu," paparnya.

Menurut Agus Tri, perkara militer, terutama alutsista, harusnya tak perlu diungkap dalam debat. Sebab, itu menjadi bagian dari strategi sebuah negara yang tak perlu diekspose terlalu luas.

Negara harusnya membangun alutsista tanpa perlu gembar-gembor. Apalagi digembar-gemborkan oleh capres-cawapres yang akan mengambil kebijakan 5 tahun ke depan.

"Alat persenjataan itu, harusnya jadi sesuatu yang secret. Cukup grand strategy-nya saja. Misal kita mau memperkuat matra laut, darat atau udara. Tidak perlu membahas terlalu detail mau beli berapa pesawat, beli berapa kapal selam," kata Agus Tri.

"Kalau kita ngomong berapa banyak persenjataan, negara lain pasti akan bersiap-siap juga. Ada fenomena security dilemma, tahu negara kita menambah persenjataan, tetangga juga akan ikut" katanya.

Oleh sebab itu, Agus Tri berharap para capres juga menggaungkan soft power pada debat ketiga ini. Banyak kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk 'dijual' di arena internasional. Mulai dari budaya, kuliner, seni, dan lainnya.

"Saya berharapnya masalah soft power ini disinggung, karena kapan lagi kan ini dibahas oleh calon pemimpin negara ini, mumpung temanya juga terkait hubungan internasional. Sekali lagi saya bilang, saya tidak sedang mengatakan bahwa hard power tidak penting, hard power penting, tapi soft power juga sangat perlu diperhatikan untuk politik luar negeri Indonesia ke depannya," tukasnya.




(dpe/dte)


Hide Ads