Penggusuran paksa terpaksa dilaksanakan karena lahan sebidang sepanjang 50 meter itu kerap menghalangi dan membuat kemacetan akses jalan menjelang pintu Tol Malang. Ini karena di di atas lahan sebidang itu berdiri tiga bangunan.
Tiga bangunan itu digunakan untuk usaha mulai dari bangunan toko elektronik, cucian mobil dan toko penjualan mobil bekas, hingga studio musik. Dua alat berat ekskavator juga diterjunkan untuk melakukan pembongkaran dan pengosongan di area bangunan.
Sedangkan petugas gabungan yang turun mulai dari polisi, TNI, Dishub, Satpol PP, Pengadilan Negeri, kejaksaan serta petugas PLN turun ke lokasi. Mereka mengawal pengosongan yang diawali dengan pembacaan surat tugas oleh Satpol PP Kota Malang.
Usai pembacaan, Petugas di lokasi juga ikut membongkar beberapa bangunan tembok, pagar, hingga pohon. Petugas juga membongkar beberapa tiang listrik, dan tiang provider internet.
Proses pengosongan lahan dan bangunan menjelang pintu masuk tol itu sempat membuat arus lalu lintas yang akan menuju tol terhambat. Kemacetan pun sempat tak terelakkan selama proses pengosongan. Sebab jalan yang seharusnya satu arah di satu jalur, dilakukan rekayasa menjadi dua arah dalam satu jalur.
Proses eksekusi pengosongan lahan dan bangunan ini juga sempat diwarnai protes dari ibu-ibu serta beberapa pemilik lahan. Tampak seorang perempuan mengenakan hijab membawa sebuah dokumen dan terlibat adu mulut dengan petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Satpol PP.
Tampak pria pemilik lahan lain juga menanyakan batas pembongkaran bangunan yang dianggap masih belum diukur. Namun perlawanan para penghuni dan pemilik lahan hanya sia-sia, sebab eksekusi tetap dipaksakan dan mereka tak berdaya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Malang Erik Setyo Santoso mengungkapkan eksekusi pengosongan bangunan dan rumah ini merupakan percepatan pembangunan infrastruktur yang ada. Sebab lahan sebidang berukuran panjang sekitar 50 meter ini dianggap menjadi biang kemacetan menjelang masuk Pintu Tol Malang.
"Gimana terselesaikan berdasarkan asas musyawarah mufakat berlangsung lama sekali, tidak berujung pada segera penyelesaian. padahal infrastruktur sarana yang ada di sini, kemendesakan kebutuhannya dari waktu ke waktu semakin tinggi," ucap Erik Setyo Santoso kepada wartawan di lokasi, Rabu (20/12/2023).
Pihaknya berdalih telah menyelesaikan kewajiban sesuai tahapan konsinyasi yang ditetapkan diketahui pengadilan sebesar Rp 491 juta. Erik pun mengaku siap jika nanti pihak pemilik lahan dan bangunan mengajukan gugatan hukum, pasca proses eksekusi pengosongan.
"Jadi proses-proses hukum di pengadilan sudah kita lewati penetapan pengadilan sudah ada, uang konsinyasi sudah diserahkan di pengadilan, penetapan pengadilan keluarnya hari Jumat minggu kemarin. Sekarang tinggal lakukan giat setelah apa yang ditetapkan pengadilan," bebernya.
"Kita Pemerintah Kota Malang pasti gerak langkahnya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang ada, (pemilik lahan mengajukan gugatan hukum) nggak masalah," sambungnya.
Di sisi lain kuasa hukum pemilik lahan Isa Adi Muswanto mengatakan proses eksekusi pengosongan lahan dan bangunan itu cacat hukum. Pasalnya seharusnya yang berwenang mengeksekusi adalah pihak Pengadilan Negeri (PN) Malang, bukan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang.
"Kami kuasa hukum ahli waris Pak Seno dan keluarga ditunjuk dari minggu kemarin pada prinsipnya menolak sebenarnya. Karena apa eksekusi ini tidak melalui pengadilan, yang mempunyai wewenang eksekusi pengadilan, tapi pihak Pemkot datang, penetapan eksekusi dari pengadilan tapi beliaunya tidak bisa menunjukkan," kata Isa Adi Muswanto terpisah.
Isa menegaskan bakal mengajukan gugatan hukum kepada Pemkot Malangg pasca-pengosongan lahan dan bangunan secara paksa. Gugatan ini akan diajukan ke PN Malang. Sebab selama ini proses konsinyasi dinilai cacat hukum.
"Kami mengajukan gugatan ke pengadilan, jadwalnya ditunggu saja. Terhadap perkara konsinyasi itu sudah melakukan gugatan, karena perkara konsinyasi ada cacat hukum," pungkasnya.
(abq/iwd)