Seorang jurnalis kadang-kadang harus melakukan peliputan di tempat yang jauh. Bagi Boni (bukan nama asli) yang hampir 10 tahun menjadi jurnalis, dia justru menghindari penugasan demikian.
Boni dikenal sebagai wartawan yang handal dalam melakukan peliputan. Jam terbangnya mengkaver segala isu mulai dari kriminalitas, politik, bahkan olahraga tidak perlu diragukan.
Tapi dia bakal maju mundur ketika mendapat tawaran untuk meliput di tempat yang jauh. Akan ada banyak alasan dan jurus yang dia lancarkan agar bukan dia yang ditugaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan karena malas atau enggan menerima tantangan meliput bencana atau ketegangan di daerah konflik, Boni menghindar karena peliputan demikian mengharuskan dirinya naik pesawat.
Seperti yang terjadi akhir November lalu. Boni diminta ke Jakarta untuk mengikuti rapat kerja tahunan media tempat dirinya bekerja. Kali ini dia tidak bisa menolak untuk berangkat.
Tanggal berangkat sudah ditentukan, tiket pesawat sudah telanjur dipesan. Jurusnya merayu atasan agar boleh berangkat sendiri naik kereta api dengan berbagai alasan ditolak mentah-mentah.
"Lah ngapain susah-susah naik kereta api belasan jam kalau naik pesawat cuma 1 jam sudah sampai?" Begitu kata Boni menirukan pernyataan atasannya, Selasa (5/12/2023).
Boni harus naik pesawat. Dia harus melawan ketakutannya meski beberapa hari sebelumnya dia turut membidani pemberitaan tentang jatuhnya pesawat Super Tucano di Pasuruan.
Tibalah hari keberangkatan. Dia datang lebih pagi untuk menguatkan hati. Boni berjalan gontai saat melangkahkan kaki di lantai Bandara Internasional Juanda menuju ke area boarding pass.
Hari itu Boni naik satu pesawat bareng kepala redaksi regional dan seorang rekannya yang lain. Keduanya tidak benar-benar tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiran Boni.
Setelah melewati rangkaian prosedur pemeriksaan, Boni akhirnya berada di dalam pesawat milik salah satu maskapai. Dia sudah duduk di kursi sesuai dengan nomor yang tertera di tiket, diapit oleh kedua rekannya.
Pesawat mulai melaju. Boni mengaku pada saat itu keringat dingin sudah mulai mengucur di tubuhnya. Hal yang tidak disangka-sangka oleh kedua rekannya di samping kanan kiri Boni adalah ketika terdengar pengumuman dari pilot melalui interkom.
"Cleared for takeoff," demikian suara pilot itu diawali bunyi khas interkom di dalam pesawat. Pada saat itulah secara tak sadar Boni telah mencengkeram salah satu rekannya.
"Heh, opo sih! (Heh, apa sih!)," ujar orang di sampingnya itu sembari dengan sebat melepas tangannya dari genggaman tangan Boni. "Asli pikiranku waktu itu sudah ke mana-mana. Kepikiran Super Tucano pisan, cik!" Ujar Boni sembari mengumpat.
Pada akhirnya pesawat itu terbang dan mendarat dengan sempurna di Bandara Soekarno Hatta. Boni mengikuti rapat kerja di kantor pusat medianya bersama sejumlah direksi, dan dia juga pulang ke Surabaya naik pesawat dalam keadaan selamat.
Mau tak mau, ketakutan Boni naik pesawat yang bisa disebut aerophobia itu menjadi bahan candaan di kantornya hingga sekarang. Terutama ketika secara tak sadar dia mencengkeram lengan penumpang di sampingnya. Tepatnya, kepala redaksi regional yang tak lain adalah atasannya alias Pak Bos.
Kemekel merupakan salah satu rubrik khas detikJatim yang mengisahkan tentang sisi lucu dan kisah menggelitik sebuah peristiwa. Kemekel tayang setiap Selasa. Baca Kemekel di sini dan tetap setia membaca konten-konten menarik detikJatim!
(dpe/iwd)