Hari ini, 10 November diperingati sebagai hari pahlawan. Banyak yang mengartikan pahlawan hanyalah mereka yang berjuang melawan penjajah untuk mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Padahal makna pahlawan begitu luas.
Pahlawan bisa diartikan sosok yang berani memperjuangkan kebenaran. Maka sosok pahlawan tentu tidak hanya ada di masa lampau saja, tetapi pastinya di masa kini dan masa yang akan datang.
Bertepatan momentum Hari Pahlawan ini, Gender Specialist Universitas Airlangga Dr Pinky Saptandari menyampaikan bahwa perempuan juga merupakan pahlawan yang tentu memiliki berbagai pengalaman kepahlawanan menarik yang layak untuk dibagikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang harus disadari perempuan sendiri adalah pahlawan. Kalau selama ini kisah kepahlawanan kebanyakan laki-laki, itu bukan berarti perempuan tidak ada pengalaman, tapi karena yg menulis laki-laki. Karena his story bukan her story. Jadi harus kita bikin her story atau their story, storynya sama-sama, bahwa semuanya mempunyai sisi kepahlawanan yang bisa diangkat," tutur Dr. Pinky saat dijumpai detikJatim di agenda Launching Buku Perempuan Penjaga Hutan, Jumat (10/11/2023).
Pinky menambahkan bahwa sebenarnya banyak sekali pengalaman kepahlawanan perempuan yang sangat jarang terangkat. Pengalaman kepahlawanan itu pun ada di berbagai lini kehidupan, baik pendidikan, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Salah satu perjuangan dan kepahlawanan perempuan yang selama ini jarang diangkat di antaranya di bidang sosial. Menurut Dr. Pinky, selama ini pengalaman kepahlawanan dan perjuangan selalu dalam sepi dan sunyi. Padahal banyak sekali perempuan yang bergerak memperjuangkan keadilan sosial.
Seperti para perempuan dari 3 provinsi di Indonesia asal Aceh Barat, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah yang berjuang untuk menjaga kelestarian hutan melalui gerakan-gerakan sosial di lingkungannya.
Salah satu perempuan yang terlibat dalam gerakan itu adalah Rizki Emya asal Aceh. Ia menyampaikan bahwa dirinya berjuang bersama ibu-ibu di wilayahnya melakukan pendekatan kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga hutan melalui pendekatan sosial dan narasi-narasi keagamaan.
"Sudah 2 tahun kami berjuang. Kami lakukan pendekatan langsung kepada masyarakat dan anak-anak, kami juga melakukan pendekatan agama. Seperti analogi kalau air tercemar karena hutan yang tidak terjaga, bagaimana kita bisa bersuci, bagaimana kita bisa beribadah," kata Rizki.
Aksi tersebut pun ternyata berdampak. Para perempuan berhasil bergerak di akar rumput untuk mengajak masyarakat di tempat tinggalnya menjadi mulai peduli turut menjaga kelestarian hutan dan tidak melakukan penebangan secara liar. Pengalaman kepahlawanan seperti ini tentu layak untuk dibagikan.
"Inilah saatnya kita membagikan pengalaman kepahlawanan sekecil apapun. Menjadi pahlawan itu bukan masa lalu, tapi di masa kini juga masa yang akan datang," pungkas Dr Pinky.
(dpe/iwd)