Dari Baanjung Petani Sanipah Kutai Kartanegara Menolak Punah

Erliana Riady - detikJatim
Kamis, 19 Okt 2023 10:05 WIB
Petani Sanipah, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Foto: Erliana Riady/detikJatim
Kutai Kartanegara -

Lahan pertanian di Kelurahan Sanipah dan Handil Baru Darat, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara mulai tergusur dengan berdirinya pabrik-pabrik baru. Kondisi ini diperparah dengan melambungnya harga pupuk, yang nyaris tak sebanding dengan nilai jual hasil panen lahan pertanian yang masih tersisa.

Aktivitas pertanian dipandang sebelah mata oleh anak muda, seperti hidup segan mati tak mau. Namun, para petani tak tinggal diam. Mereka memulai upaya mengenalkan pekerjaan bertani kepada generasi muda.

Upaya ini tidak mudah di tengah serbuan gaya hidup hedonisme yang mulai menjamah anak muda di wilayah pinggiran. Dari Baanjung inilah para petani berkumpul dan berjuang dengan cara mereka, memanfaatkan digitalisasi pertanian untuk menolak punah.

Ancaman punahnya sektor pertanian lokal di wilayah ini bukan isapan jempol belaka. Ada banyak lahan tidur dan berpotensi mudah terbakar dengan cakupan luas sekitar 6,5 hektare. Sementara sebanyak 500 kilogram timbunan jajang sawit menjadi limbah landfill kebun sawit.

Kualitas kesuburan tanah di lahan pertanian yang makin menurun membuat 12.787 liter pupuk kimia massif digunakan setiap tahun oleh petani sebagai pola tanamnya. Dengan pola tanam seperti ini saja, ternyata belum memaksimalkan hasil panen pertanian lokal.

Ini terbukti hanya 20 persen ketersediaan sayur bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Sementara 80 persen kebutuhan pangan lokal didapatkan dari impor. Angka ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan impor dari Jawa dan tengkulak. Situasi yang serba sulit ini kemudian menciptakan tingginya angka pengangguran dan putusnya generasi petani.

Para tetua tak bisa tinggal diam. Mereka berdiskusi mencari akar masalah dan bagaimana solusi yang tepat berbasis potensi lokal yang tersisa. Jawabannya adalah kebaruan inovasi. Memaksimalkan pendanaan CSR dari BUMN yang beroperasi di wilayah itu, kerja bareng pun dimulai.

Perencanaan dan pendampingan, kelompok tani mengindentifikasi kebutuhan penghematan biaya produksi, peningkatan pendapatan, kebutuhan alternatif pupuk ramah lingkungan ,serta penguatan kapasitas menghadapi Ibu Kota Negara (IKN).

Menjadi pekerjaan rumah besar juga bagi mereka untuk menghapuskan gap interaksi antara golongan muda dan tua, yang satu di antara eksesnya adalah tidak adanya regenerasi petani kepada generasi milenial.

"Data dari pemerintah kabupaten, jumlah antara petani yang pensiun dengan petani mudanya itu jomplang. Petani muda hanya sekitar 10 persen dari petani tua yang sudah tidak mampu bekerja di lahan. Harus ada regenerasi supaya ada pengganti beliau-beliau itu," kata Yuliantoro, tokoh pengkader petani muda di Sanipah.

"Tapi dengan pola komunikasi atau gaya kekinian yang maju dan modern. Salah satunya saya harus pintar main game seperti mereka. Dari main game itu saya dekati anak muda dengan adu main game. Kalau saya kalah, saya yang mencuci piring dan gelas kotor mereka. Kalau mereka kalah, mereka saya suruh belajar memegang pacul dan menanam," sambungnya.

Yuliantoro mengakui pekerjaan bertani saat ini terpinggirkan dari pikiran generasi milenial. Apalagi melihat iklim bertani konservatif yang semakin tak kondusif, membuat kegiatan bercocok tanam dipandang sebelah mata oleh para pemuda.

Kalangan muda menilai bertani adalah pekerjaan orang kampung yang tidak memberi prospek masa depan cerah. Berdirinya pabrik-pabrik baru semakin membuat profesi petani ditinggalkan.

Anak muda di Sanipah bahkan punya moto "lebih baik menganggur jika tidak kerja di pabrik". Adanya pergeseran kultur pertanian ke pabrik ini juga membuat mental anak muda Sanipah lebih memilih hal yang serba instan.

Akibatnya, angka pengangguran tinggi. Sementara berdirinya pabrik beriringan dengan munculnya tempat hiburan menjadi faktor pemicu kenaikan angka tindak kriminal di Sanipah.

Dari fenomena inilah Yuliantoro yang semula sebagai pendamping desa dari Kemendes di Berau, merasa terpanggil mengembalikan Sanipah ke jati diri sebagai petani lokal. Itor, panggilan akrabnya ini kemudian memutuskan mengundurkan diri, kembali ke kampung halamannya di Sanipah untuk bertani.

Masalah Sanipah mempertemukan Itong dengan pihak-pihak yang bakal menggelontorkan CSR. Dari forum grup diskusi yang juga melibatkan beberapa warga, didapat solusi menerapkan pola pertanian terintegrasi ramah lingkungan dari hulu ke hilir dengan sistem pertakultur.

Petani Sanipah, Kecamatan Samboja, KabupatenKutai Kartanegara. Foto: Erliana Riady/detikJatim

Strategi yang digunakan adalah dengan melibatkan dan membina generasi muda serta kelompok perempuan. Pemanfaatan limbah organik dan digitalisasi pemasaran.

Dengan sistem pertakultur, petani muda belajar mendaur ulang limbah, menata lahan, menyehatkan alam, mandiri berkelanjutan dan kebersamaan manfaat. Pertakultur sejalan dengan Perda Kaltim Nomor 7 Tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim.

"Mereka anak-anak muda ini lahan bapaknya berhektare-hektare, tapi tidak dikelola dengan baik. Di lahan mereka inilah kami jalankan program ini dengan melibatkan anak muda langsung dan ibu-ibu mereka juga. Daripada mereka menganggur, kami ingin tunjukkan sistem ini bisa menghidupi mereka" kata Itong.

"Kami berusaha menepis anggapan kalau bertani itu nggak keren. Biar miskin asal sombong harus diubah menjadi petani itu keren dan penghasilannya lebih menjanjikan daripada kerja ikut pabrik. Kami bangun petani maju 4.0 bagi anak muda Sanipah," sambungnya.

Baca perjuangan petani Sanipah di halaman selanjutnya...




(irb/fat)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork