KH Bisri Syansuri adalah salah seorang ulama asal Jawa Timur. Ia merupakan pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Jombang.
Selain pendiri pondok pesantren, KH Bisri juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia dikenang kompeten di bidang fikih murni (hukum Islam).
Seperti apa perjalanan KH Bisri? Simak biografinya berikut ini, yang telah dirangkum detikJatim dari situs resmi NU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa Kecil dan Riwayat Pendidikan KH Bisri Syansuri
KH Bisri lahir pada hari Rabu, 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886 di Kecamatan Tayu, Pati, Jombang. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Mariah.
Saat kecil, Bisri berguru pada KH Abd Salam yang merupakan salah seorang ahli dan hafal Al-Qur'an. Selain ahli dalam Al-Qur'an, KH Abd Salam juga dikenal ahli dalam bidang fiqih.
Melalui ajaran gurunya, Bisri mampu mendalami sejumlah ilmu. Mulai dari ilmu nahwu, shorof, fiqih, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Berkat kedisiplinan sang guru, Bisri tumbuh menjadi sosok yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama. Menginjak usia yang ke-15 tahun, Bisri mulai mendalami ilmu agama di luar tanah kelahirannya.
Baca juga: Biografi KH Wahab Chasbullah |
Ia berguru pada dua tokoh agama kenamaan yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu'aib Sarang Lasem. Tak berhenti di situ, Bisri kemudian kembali mengembangkan ilmunya kepada Syaikhona Kholil Bangkalan.
Lalu, ia belajar di Pondok Pesantren Tebuireng selama 6 tahun dan berguru pada Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Atas ketekunannya, Bisri memperoleh ijazah dari sang guru.
Bisri pun diberi amanat untuk mengajarkan kitab-kitab agama. Mulai dari kitab fiqih Al-Zuhab hingga kitab-kitab hadis, seperti Bukhari dan Muslim.
Hingga pada tahun 1912-1913, KH Bisri bersama KH Abdul Wahab Chasbullah melancong ke Makkah untuk melanjutkan pendidikannya. Di sana, KH Bisri berguru pada sejumlah syekh dan guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy'ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas.
KH Bisri Syansuri Mendirikan Pesantren Perempuan
Pulang menuntut ilmu dari Makkah, KH Bisri kemudian mendirikan pesantren di Denanyar, Jombang. Pada 1919, ia pun turut berinovasi dengan mendirikan kelas untuk santri perempuan di pesantrennya.
Para santri perempuan tersebut merupakan anak tetangga sekitar. Langkah KH Bisri mendirikan kelas untuk santri perempuan menimbulkan polemik di kalangan ulama pesantren. Namun, inovasi tersebut juga tidak terlepas dari pengamatan sang guru, KH Hasyim Asy'ari.
Meski belum mendapatkan izin khusus dari sang guru, KH Bisri tetap meneruskan kelasnya tersebut lantaran tidak juga ada larangan dari sang guru.
Pasalnya, Kiai Bisri tidak ikut mendirikan cabang Sarekat Islam di Makkah tanpa izin dari Kiai Haji Hasyim Asy'ari.
Cucu KH Hasyim Asy'ari yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengungkapkan keputusan KH Bisri mendirikan kelas untuk santri perempuan menjadi proses pematangan fiqih KH Bisri. KH Bisri melanjutkan inovasinya berdasarkan pemahaman fiqihnya, tanpa mengorbankan rasa hormat terhadap gurunya.
KH Bisri Syansuri Menjadi Pemimpin NU
KH Bisri tercatat sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 di Surabaya. Ia menjabat sebagai Wakil Rais 'Aam sejak 1972. Setelah KH Abdul Wahab Chasbullah wafat, KH Bisri kemudian menjadi penggantinya untuk memimpin NU.
Selain menjadi pemimpin NU, KH Bisri juga turut terjun ke dunia politik. Kariernya di dunia politik diawali dengan partisipasinya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
KH Bisri pun melanjutkan karier berpolitiknya dengan menjadi anggota DPR RI dari NU lewat hasil Pemilu 1971. Seperti diketahui, tahun 1972 merupakan era menguatnya Pemerintahan Orde Baru.
Tak lama setelah KH Bisri menjadi anggota DPR, muncullah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan. RUU yang dirancang pemerintahan tersebut secara keseluruhan jauh dari ketentuan hukum agama.
Baca juga: Biografi KH Wahab Chasbullah |
![]() |
Karena hal tersebut, KH Bisri dan NU menolak RUU tersebut dengan melakukan perundingan. Perundingan tersebut melibatkan NU dan unsur dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Perundingan tersebut berlangsung sangat alot dan ketat.
Setelah itu, KH Bisri dan kiai-kiai lain dari Nahdlatul Ulama membuat RUU alternatif. Isi dari RUU Alternatif yang digagas oleh KH Bisri tersebut meliputi:
- Perkawinan bagi muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil.
- Masa 'iddah istri yang awalnya satu tahun disingkat menjadi tiga bulan.
- Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak diizinkan (NU cukup berhasil dalam mendefinisikan arti anak yang sah).
- Pertunangan dilarang karena dapat menjerumuskan ke perzinahan (NU berhasil).
- Anak angkat tidak memiliki hak yang sama dengan anak kandung (NU berhasil).
- Penghapusan sebuah pasal dari RUU yang menyatakan perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan (Pasal 11 ini dihilangkan).
- Batas usia menikah yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria (NU berhasil).
- Penghapusan pasal mengenai pembagian harta antara wanita dan pria di mana hasil usaha masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakannya (NU berhasil).
- NU menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat. Pasal ini disempurnakan di mana hubungan sebagai anak angkat tidak dilarang, tetapi disinggung pula hubungan persusuan.
- NU menolak larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami dan istri yang telah bercerai (NU berhasil).
Artikel ini ditulis oleh Nabila Meidy Sugita, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/fat)