SMPN 1 Ponorogo memutuskan menunda sumbangan ke wali murid untuk membeli mobil baru, komputer, hingga alat musik. Ini buntut viralnya sumbangan tersebut di media sosial. Sementara, Ombudsman Jatim meminta agar sekolah menghentikan sumbangan tersebut.
Kepala SMPN 1 Ponorogo Imam Mujahid mengatakan, permohonan sumbangan tersebut akan dikaji ulang. Alasannya, karena hal ini sudah viral, maka pihaknya akan mendengarkan keluhan dari masyarakat dan wali murid.
"Kita konfirmasi ke komite pengadaan mobil kita pending dulu nanti untuk program selanjutnya kita konfirmasi lagi dengan wali murid dengan komite, sehingga klir, sehingga kita menjalankan tugas dengan tenang," terang Imam kepada wartawan, Senin (2/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imam melanjutkan, pihaknya akan menerima usulan atau saran dari wali murid. Sekolah akan segela menggelar rapat lagi dengan komite, Aparat Penegak Hukum (APH), dan wali murid.
"Sementara kita pending dulu, sumbangan-sumbangan itu kita pending dulu, kita fix-kan dulu," ujar Imam.
Imam menjelaskan, dari tahun ajaran lalu, hanya sekitar 70 hingga 80 persen siswa yang membayar lunas. Sedangkan sisanya hanya membayar 25 persen, 50 persen atau 75 persen bagi orang tua yang tidak mampu.
"Keperluan tahun kemarin penyempurnaan atau perbaikan aula dan balkon gedung meeting. Perbaikan yang sifatnya belum ter-cover," pungkas Imam.
Sementara itu, Ombudsman Jatim menegaskan apa yang dilakukan SMPN 1 Ponorogo itu merupakan bentuk pungutan yang dikemas dengan nama sumbangan. Ombudsman Jatim meminta kepada SMPN 1 Ponorogo untuk menghentikan penggalangan dana ke wali murid tersebut.
"Intinya kami minta agar dihentikan penggalangan dana bersifat sumbangan, intinya pungutan dibalut sumbangan," tegas Kepala Ombudsman Jatim Agus Muttaqin.
Menurutnya, penggalangan dana tidak boleh ditentukan nominalnya. Sebab, sejatinya sumbangan tak boleh ada batas minimalnya.
"Di permendiknas itu penggalangan dana tidak boleh ditentukan dulu nominalnya, kalau sudah ditentukan nominalnya, jelas-jelas pungutan," terang Agus.
"Namanya sumbangan tidak ada batas minimal, tidak ada batas waktu untuk menyetorkan dan tidak bersifat paksaan. Apalagi ditentukan nominal dan waktu sekian dan ada semacam paksaan, membuka peluang untuk tidak keberatan, bukan sumbangan," sambungnya.
Agus menilai tanpa adanya pembuktian, kejadian ini sudah disebut maladministrasi. Sebab, SMP masuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun.
"Wajib belajar 9 tahun itu sudah di-cover negara, baik dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bosda yang disalurkan dari Pemkab atau Pemda," sebutnya.
(dte/dte)