Anggota Komisi II DPR RI Supriyanto mengungkapkan bahwa dia optimistis sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem sebelumnya. Yakni sistem proporsional terbuka.
"Saya yakin 100 bahkan 1.000 persen Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka," kata Supriyanto kepada awak media di Surabaya, Selasa (13/6/2023).
Komisi II DPR RI salah satunya membidangi Pemilu. Surpriyanto yakin Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak permohonan Uji Materi UU Pemilu 17/2017 Terkait Sistem Pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, pemohon uji materi UU Pemilu mengajukan gugatan agar sistem pemilu proporsional terbuka diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Dalihnya sesuai Pasal 22 E UUD 1945 Ayat 3 bahwa Peserta Pemilhan Umum Untuk Memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.
"Saya yakin MK akan menolak permohonan itu. Karena sistem pemilu proporsional terbuka ini tidak bertentangan dengan dengan UUD 1945," jelasnya.
Politikus Gerindra ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 diatur bahwa "Kedaulatan di Tangan Rakyat dan Dilaksanakan Menurut UUD".
"Penentuan sistem pemilu merupakan open legal policy. Kewenangan pembentuk Undang-Undang yaitu pemerintah dan DPR untuk menetapkan sistem pemilu," ujarnya.
Dia memaparkan bahwa UU Pemilu nomor 7/2017 juga telah mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai politik. Karena itu tahapan pemilu harus diawali pendaftaran partai politik peserta pemilu, penetapan partai politik peserta pemilu beserta nomer urutnya, kemudian pendaftaran caleg oleh partai politik.
"Ini menunjukan bahwa peserta pemilu adalah partai politik, hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 22 E Ayat 3 UUD 1945," tambahnya.
Supriyanto yang merupakan Anggota DPR RI Dapil Jatim VII ini menyatakan dengan sistem pemilu proporsional terbuka masyarakat bisa memilih mana wakil rakyat yang dikehendaki.
"Sesuai dengan pasal 1 ayat 2 UUD 1945, bahwa kedaulatan di tangan rakyat termasuk dalam memilih perwakilan yang dikehendaki. Justru yang sekarang dibutuhkan adalah UU terkait dengan pengaturan hukum acara judicial review di MK. Sehingga MK dalam melakukan judicial review berpedoman pada norma UU, tidak berdasarkan keputusan MK," jelasnya.
"Contoh kongkretnya begini, UU Pemilu pada prinsipnya lebih berfungsi pada waktu tertentu (saat pemilu). Seandainya KPU sudah menetapkan tahapan jadwal pemilu, seharusnya gugatan uji materi UU pemilu tidak dilakukan agar terjadi kepastian hukum terkait penyelenggaraan pemilu," lanjutnya.
Anggota Fraksi Gerindra DPR RI ini menyampaikan analogi pemilu dengan pertandingan sepakbola. Ibarat pertandingan sepakbola, menurutnya Pemilu 2024 saat ini sudah berjalan setengah babak.
"Ini peluit pertandingan sepakbola sudah dimulai, sudah mau masuk paruh waktu, masak pada waktu pertandingan sudah berjalan masih diperdebatkan bola menyentuh tangan boleh apa tidak," katanya.
(dpe/dte)