Tuyul dan Kehidupan Feodal Masyarakat Kediri yang Diteliti Antropolog AS

Tuyul dan Kehidupan Feodal Masyarakat Kediri yang Diteliti Antropolog AS

Denza Perdana - detikJatim
Selasa, 09 Mei 2023 16:55 WIB
Warga Ciamis dibuat heboh dengan penemuan sosok misterius yang diduga menyerupai tuyul. Sosok itu berada dalam sebuah botol. Penasaran? Berikut penampakannya.
Ilustrasi tuyul. (Foto: Dok. Dadang Hermansyah/detikcom)
Kediri -

Berdasarkan temuan Antropolog AS Clifford Geertz di Mojokuto yang kini diketahui berada di Kecamatan Pare, Kediri, tuyul yang didefinisikan sebagai salah satu makhluk halus telah menjadi bagian dari budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa sejak lama. Keberadaan tuyul tak bisa dilepaskan dari kehidupan feodal masyarakat Jawa.

Merespons temuan Geertz itu, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Nusantara PGRI Kediri Sigit Widyatmoko mengakui dan percaya dengan hasil penelitian yang tertuang dalam buku 'Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.'

Bukan tanpa alasan Sigit memercayai hasil penelitian antropolog AS itu. Dia percaya dengan hasil laporan yang tertuang dalam buku itu karena Geertz adalah seorang antropolog yang benar-benar melakukan penelitian di lapangan, bukan melalui hasil kajian pustaka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia jelaskan pula bahwa dalam bukunya, Geertz menganggap bahwa Mojokuto alias Pare merupakan bentuk replika sistem feodal di Jawa yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Seluk-beluk kehidupan masyarakat itulah, termasuk kepercayaan tentang tuyul, yang direkam oleh Sang Antropolog.

"Saya percaya karena dia seorang antropolog yang melakukan 'grounded research', dia langsung ada di lapangan. Jadi di lapangan dia mengkaji kehidupan masyarakat di Pare dan sekitarnya tentang kehidupan sosial ekonomi, sosial religi yang ada di masyarakat. Dia gambarkan Pare atau Mojokuto itu bentuk replika feodal di Jawa," kata Sigit.

ADVERTISEMENT

Lebih jauh Sigit menjelaskan bahwa di kawasan Pare era 1950-an yang disebut Mojokuto oleh Clifford Geertz, masyarakat hidup dengan toleransi luar biasa. Ada 5 agama yang kumpul menjadi satu di sana dengan beragam kepercayaan mulai dari yang abangan sampai yang putihan.

"Bentuk kota di Jawa, komunitasnya seperti itu. Mojokuto menggambarkan begitu banyak kepercayaan mulai dari rakyat abangan hingga masyarakat Islam putihan. Lima agama kumpul jadi satu dan ada toleransi kehidupan yang luar biasa," ujarnya.

"Jangan diartikan Mojokuto itu Pare yang ada saat ini. Pare itu adalah sinonim dari Mojokuto, wilayah yang tersebar di sekitar Kawedanan (wilayah di bawah kabupaten tapi di atas kecamatan yang dipimpin oleh seorang Wedana) yang menggambarkan kehidupan masyarakat feodal Jawa," ujar Sigit.

Di tengah kehidupan masyarakat yang seperti itulah, kata Sigit, Clifford meneliti berbagai aspek budaya yang berkembang di masyarakat, termasuk kepercayaan tentang makhluk halus.

Geertz menangkap fenomena bahwa masyarakat Jawa mempercayai tiga jenis makhluk halus yang utama. Yakni memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus), dan tuyul.

Namun, Geertz tidak terjebak untuk membahas apakah tuyul itu nyata atau sekadar rekaan belaka. Ia lebih tertarik pada fungsi kepercayaan tuyul itu sendiri sebagai bagian dari kepercayaan masyarakat yang tinggal di kawasan Mojokuto.

Antropolog AS itu mendefinisikannya sebagai makhluk halus anak-anak. Menurutnya Tuyul tidak mengganggu, menakuti orang, atau membuat orang menjadi sakit. "Sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membantu manusia menjadi kaya," kata Geertz.

Di buku itu Geertz juga menunjukkan bahwa dirinya pernah melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber di Mojokuto atau Pare, Kediri. Salah satu narasumber itu mengatakan kepadanya bahwa orang yang ingin berhubungan dengan Tuyul harus berpuasa dan bersemadi.

Dideskripsikan pula bagaimana saat itu banyak orang Mojokuto yang beranggapan bahwa seseorang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan supaya tuyul mau menerima tawarannya sehingga orang bisa melihat tuyul lalu mempekerjakan mereka untuk kepentingan soal uang, hingga mencuri padi di desa-desa.

"Kalau orang mau kaya, ia bisa menyuruh mereka mencuri uang. Mereka bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata hingga tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya," tulisnya.

Mengenai tuyul ini, Sigit selaku akademisi yang tinggal di kawasan Mojokuto saat ini pun menyampaikan pendapatnya tentang tuyul. Dia berpendapat bahwa keberadaan tuyul dalam sosial kemasyarakatan pada saat itu identik dengan kesenjangan sosial ekonomi.

"Nah, di tengah sistem feodal itulah kecemburuan sosial itu kadang-kadang diidentikkan dengan takhayul, salah satunya tuyul," ujarnya.

Kecemburuan sosial yang muncul dari kesenjangan ekonomi dalam sistem feodal saat itulah yang menurut Sigit memunculkan kecenderungan masyarakat untuk percaya dengan keberadaan tuyul. Terutama ketika mereka mendapati seseorang di masyarakat yang memiliki harta melimpah namun tidak pernah terlihat bekerja.

"Kalau saya hanya melihat adanya suatu kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat untuk mendiskreditkan suatu kelompok masyarakat tertentu karena kedudukan ekonominya yang lebih baik. Padahal kita hanya mengkaji: kenapa kok orang itu ekonominya lebih baik, ya? Yang paling enak kita ngomong 'wong iku ngingu tuyul (orang itu memelihara tuyul)', gitu," ujarnya.




(dpe/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads