Bagi sebagian orang, tuyul itu tidak pernah ada. Bagi sebagian lain yang percaya, tuyul itu ada dan sangat nyata. Di luar nyata atau tidaknya tuyul, antropolog meneliti fungsi tuyul di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang telah memasukkan kepercayaan tentang tuyul sebagai bagian dari penelitiannya adalah Antropolog AS, Clifford Geertz.
"Jadi kalau saya tentang penelitian itu erornya 5 persen. Eror itu pasti ada. Tidak bisa absolut. Tapi saya percaya dengan penelitian Clifford tentang sistem feodal di Jawa itu," ujar Dosen Ilmu Sejarah Universitas Nusantara PGRI Kediri Sigit Widyatmoko kepada detikJatim, Selasa (9/5/2023).
Pada praktiknya, Sigit menyatakan bahwa tuyul itu ada di tengah-tengah masyarakat. Apalagi di tengah masyarakat Jawa. Hal itu menurutnya tidak bisa dimungkiri dan sangat terkait dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di era ketika Clifford Geertz melakukan penelitian pada 1950-an.
"Saya setuju dengan Clifford karena sistem feodal di Jawa itu memang mencerminkan toleransi yang luar biasa. Kehidupan ekonomi dan sosial itu dipengaruhi stratifikasi sosial yang sangat kuat," katanya.
"Nah di tengah sistem itu lah kecemburuan sosial itu kadang-kadang diidentikkan dengan takhayul. Sebut saja salah satunya tuyul," ujar Sigit.
Sigit mengakui bahwa selama hidupnya dia tidak pernah melihat tuyul. Tapi, dia sangat memahami bahwa kabar tentang tuyul di lingkungan masyarakat yang ada di sekitar dirinya memang berkembang.
"Sampai hari ini saya belum pernah melihat tuyul. Tapi di berita-berita di masyarakat berkembang. Di masyarakat ada lho! Wong ngingu (orang memelihara) tuyul? Ada! Tapi apa benar dia ngingu tuyul? Terus yoopo carane ngingu tuyul (terus bagaimana caranya memelihara tuyul)? Jadi kontradiksinya ada, tetapi di masyarakat itu berkembang," katanya.
Hal itulah yang menurut Sigit ditangkap oleh Clifford Geertz. Fungsi, kabar, fenomena, dan kepercayaan tentang tuyul bagi masyarakat. Sigit pun memiliki pandangan sendiri mengenai fenomena tuyul itu. Seperti yang sudah dia sebutkan, dia menganggap bahwa tuyul itu identik dengan kesenjangan sosial ekonomi.
"Itu kalau saya hanya melihat adanya suatu kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat untuk mendiskreditkan suatu kelompok masyarakat tertentu karena kedudukan ekonominya yang lebih baik. Padahal kita haya mengkaji: kenapa kok orang itu ekonominya lebih baik, ya? Yang paling enak kita ngomong 'wong iku ngingu tuyul', gitu," ujarnya.
Kepercayaan masyarakat di Mojokuto alias Pare, Kediri tentang tuyul yang pernah diteliti oleh Clifford Geertz itu menurut Sigit masih ada hingga saat ini. Fungsi tuyul dalam hal sosial kemasyarakatan pun menurutnya tidak jauh berbeda dan pembuktian tentang tuyul hingga hari ini pun belum bisa sepenuhnya dilakukan.
"Sekarang kita bertanya lah, silakan bertanya ke masyarakat di sekitar kita, 'apa masih ada yang ngingu tuyul?' Jawabannya pasti ada. Tapi untuk menunjukkan? Nah kita nggak akan ketemu," ujarnya.
Clifford Geertz dan penelitiannya tentang tuyul di Mojokuto. Baca di halaman selanjutnya.
(dpe/dte)