Capres PDIP Ganjar Pranowo dan capres NasDem Anies Baswedan mendatangi Kabupaten Jember, Minggu (7/5). Dalam kunjungan itu, keduanya sama-sama mempunyai serangkaian agenda menyapa warga, bertemu tokoh masyarakat, dan sowan ke tokoh agama. Pengamat politik Universitas Jember, Agus Trihartono menilai hal itu wajar dilakukan.
Menurut Agus Tri, Jember merupakan salah satu daerah potensial di Jatim yang bisa jadi lumbung suara para capres. Mayoritas warga Jember merupakan Nahdliyin.
"Suara Jawa Timur itu kan sekitar 16 koma sekian persen dari suara nasional dan itu memang signifikan sekali. Di Jawa Timur sendiri ada (daerah) Tapal Kuda, di mana di dalamnya ada Jember yang juga harus dijaga," jelas Agus Tri kepada detikJatim, Senin (8/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Agus Tri mengingatkan, meski mayoritas warga Jember adalah Nahdliyin, pilihan politik mereka tidak selalu homogen. Sebab, mereka juga merupakan nasionalis.
"Jadi tidak otomatis, misal ada capres dekat dengan tokoh Nahdliyin kemudian suaranya homogen ke dia, nggak juga. Sebab, di Jember ini nasionalis juga. Setidaknya bisa dilihat dari hasil Pilpres dan Pileg sebelumnya," terang Agus.
"Suara dari PKB ada, Nasdem ada, Gerindra ada, dan PDIP juga ada. Artinya, suaranya memang tidak homogen," sambung dosen Hubungan Internasional, FISIP Unej tersebut.
Dia menambahkan, kiai yang ada di Jember juga terpolarisasi afiliasi politiknya. Tidak hanya ke satu partai.
"Ada yang afiliasi ke PPP, kemudian juga ada yang ke PKB. Jadi, tidak ke satu partai juga," ujarnya.
Namun, Agus menggarisbawahi bahwa suara Nahdliyin itu sangat penting. Sehingga, sowan ke tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jember memang harus dilakukan.
Hal ini, kata Agus, bertujuan agar para capres bisa diterima oleh masyarakat. Ketika masyarakat sudah menerima, maka jalan untuk menaikkan tingkat keterpilihan atau elektabilitas akan semakin lapang.
"Jadi memang kalau datang ke Jawa Timur, khususnya ke Jember, ya harus datang ke tokoh masyarakat, utamanya ke ke kiai. Ini bertujuan agar ketokohan sang calon ini semakin kuat," paparnya.
![]() |
Dalam bahasa kekinian, sambung Agus, kiai ini akan menjadi endorsement bagi si calon. Sehingga, penerimaan masyarakat semakin besar dan popularitas sang calon akan meningkat.
"Kalau bahasa sekarang ini akan menjadi endorsement. Atau kiai ini bisa menjadi influencer bagi si calon. Kiai bisa mengenalkan ke masyarakat," ujar pria yang meraih gelar doktor Ilmu Hubungan Internasional dari Graduate School of International Relations (GSIR), Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang tersebut.
Agus mengungkapkan, meski penting untuk mendatangi kiai di Jember sebagai sosok endorsement, tapi capres tidak bisa mengabaikan suara pemilih pemula. Menurut Agus, pemilih pemula tidak akan gampang terbawa pilihan kiai maupun tokoh masyarakat.
"Tapi apakah kemudian ini menjadi cara untuk memobilisasi suara, saya rasa enggak juga. Apalagi di kalangan pemilih pemula, di mana mereka sangat independen dalam menentukan pilihan. Didukung teknologi informasi yang ada saat ini, pemilih pemula lebih dipengaruhi perkembangan informasi tentang si calon daripada berkiblat pada tokoh tertentu," urainya.
Terakhir, kata Agus, memang penting bagi capres untuk mendatangi tokoh agama. Namun, capres yang ingin menarik suara di Jember juga harus punya modifikasi strategi. Terutama dalam mengelola media sosial yang banyak dikonsumsi oleh milenial dan Gen-Z yang dalam konteks ini adalah pemilih pemula.
"Kesimpulannya, calon memang harus datang ke tokoh agama jika ingin akseptabilitasnya meningkat. Sebab jika hal ini tidak dilakukan, maka jalan untuk memperoleh elektabilitas akan sulit. Namun seiring perkembangan zaman, kiai atau pesantren bukan menjadi kiblat orang dalam menentukan pilihan. Kalau untuk pemilih lama mungkin iya, tapi tidak bagi pemilih pemula atau kaum milenial. Jadi, calon harus ada modifikasi strategi untuk meraih suara di Jawa Timur, khususnya di Jember," tukas Agus.
(hil/dte)