Desa Sumput di Sidoarjo kerap disebut sebagai Kampung Sangkal Putung. Banyak masyarakat percaya cedera tulang bisa disembuhkan dengan cara pemijatan tradisional seperti yang dilakukan di sangkal putung Desa Sumput.
Namun, walaupun disebut bisa menyembuhkan banyak cedera tulang, Kartini, salah satu ahli sangkal putung mengaku menolak pasien dengan jenis cedera tulang tertentu.
"Kalau putus tulangnya dalam keadaan yang masih bagus atau orang Jawa nyebutnya kondisi 'del', itu saya masih mau. Tapi kalau saya lihat kondisi tulangnya sudah tampak runcing, biasanya akan saya minta untuk langsung ke rumah sakit," jelas perempuan yang akrab disapa Bu Kartini itu kepada detikJatim, Senin (10/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum memijat, Kartini selalu memastikan terlebih dahulu kondisi tulang pasien. Jika dirasa sudah terlalu parah, maka ia tidak akan mengambil risiko lebih lanjut.
"Pemijatan di sini saya biasanya menerapkan sistem seperti ini. Pasien yang membawa perban, lalu nanti setelah selesai saya berikan resep untuk obatnya. Nah, obatnya ini untuk perekat tulangnya itu," ungkapnya.
Kartini mengatakan, dia lebih baik kehilangan calon pasien daripada kondisi mereka malah semakin parah. Dia tak mau memaksakan diri untuk memijat pasien jika melihat cedera yang dialami sudah sangat parah.
"Saya angkat tangan kalau memang sudah cukup parah. Lebih baik jujur apa adanya, karena masa depan pasien juga kan masih panjang, toh," jelasnya.
Pada prinsipnya, Kartini memang mengedepankan keikhlasan dalam membantu orang-orang yang datang untuk pijat kepadanya. Makanya, ia berusaha untuk selalu jujur atas kemampuan dirinya terhadap pasien.
"Kalau memang nggak bisa, ya saya bilang apa adanya. Daripada nanti risiko karena berbohong. Terus juga kan saya sama saja tidak jujur kepada Allah SWT. Besar itu dosanya," kata Kartini.
Untuk mencegah terjadi risiko, beberapa kali Kartini menyarankan pasien melakukan rontgen bila mereka memang kurang yakin untuk pijat di sangkal putung miliknya.
"Saya kan bisa melihat kondisi tulang pasien, nah tapi pasien nggak bisa. Kalau mereka memang kurang yakin, ya saya serahkan keputusannya ke pasien lagi untuk rontgen. Baru setelah nanti hasilnya sudah pasti, mereka bisa memikirkan ulang untuk tetap pijat di sini atau tidak," ucapnya.
Kartini juga membagikan ceritanya saat menangani salah satu pasien. Menurutnya, saat itu adalah kasus tersulit yang pernah ia temukan.
"Pernah saya menangani pasien yang jatuh, terus tulang paha dan pinggulnya bergeser. Itu susah sekali untuk memijatnya, tapi ya alhamdulillah bisa," katanya sembari mengingat-ingat.
Tak hanya itu, Kartini juga teringat pernah menolak pasien yang tulangnya retak.
"Kalau pasien yang sudah tua, terus tulangnya retak, wah itu saya nggak berani. Daripada jadi dosa kan, meskipun dapat uang," jelasnya.
Tak hanya itu, Kartini juga pernah menerima seorang pasien yang sudah tak bisa berjalan dengan memijatnya selama 8 bulan. Pasien itu mengaku dirinya tak memiliki uang untuk operasi di rumah sakit.
"Ada orang, itu dia nggak bisa jalan. Orangnya ngekos, nggak punya uang. Sudah saya suruh untuk operasi saja, tapi ya gimana memang kondisinya sama sekali nggak pegang uang," ucap Kartini mengenang masa-masa itu.
Lantaran tak tega, Kartini akhirnya menolong orang itu. Hanya saja dia memberi pesan kepada pasienny agar sabar. Sebab, proses penyembuhannya tidak bisa cepat.
"Waktu itu saya juga nggak ngasih target ke dia untuk datang ke sini setiap hari, yang penting setiap minggu saja. Saya bilang ke orangnya, bisa jadi sembuh 6 bulan, 8 bulan, atau bahkan setahun. Tapi ya balik lagi, pembuat keputusannya dan yang ngasih sembuh itu kan Allah," ucapnya dengan mantap.
(hil/dte)