Inovasi Unair: Tes Alergi Kini Lebih Mudah, Bentuknya Mirip Plester

Inovasi Unair: Tes Alergi Kini Lebih Mudah, Bentuknya Mirip Plester

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Selasa, 21 Mar 2023 02:01 WIB
Ilustrasi patch alergi Unair yang sudah dapat hak paten (Dok Unair)
Ilustrasi patch alergi Unair yang sudah dapat hak paten (Dok Unair)
Surabaya - Tes alergi kini bisa semakin mudah dengan inovasi dari tim peneliti Universitas Airlangga (Unair). Mereka membuat inovasi berupa kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal.

Riset ini dipimpin oleh Prof apt Junaidi Khotib SSi MKes PhD. Menariknya, riset ini berhasil mengantongi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yakni hak paten pada September 2022.

Prof Junaidi menjelaskan, inovasi ini bermula dari kasus alergi yang terus meningkat dengan mayoritas penderitanya masih berusia anak-anak. Sementara untuk deteksi zat pemicu alergi atau alergen, umumnya menggunakan uji tusuk kulit (skin prick test) yang bersifat invasif sehingga menimbulkan goresan.

Untuk itu, Prof Junaidi beserta tim merancang kit diagnostik alergen dengan penggunaan secara non-invasif yang aman digunakan untuk semua kalangan usia. Menurutnya, inovasi ini juga sebagai deteksi dini yang memudahkan pengujian pada penderita alergi.

Cara Kerja Tes Alergi

Dekan Fakultas Farmasi Unair ini membeberkan, kit diagnostik alergen dikemas dalam bentuk patch transdermal yang mirip dengan plester.

Terdapat sembilan jenis ekstrak alergen dalam sediaan patch. Yang mana terdiri dari tungau debu rumah, udang, susu sapi, ikan laut, telur, gandum, kacang tanah, kelapa atau santan, dan serbuk sari.

Selanjutnya, penggunaan patch ditempel pada permukaan kulit tubuh yang mudah diamati. Seperti di area lengan atau punggung selama 15 menit.

Hal ini memungkinkan ekstrak alergen pada patch berinteraksi dengan sel epitel kulit untuk menghasilkan reaksi alergi.

"Ekstrak alergen tersebut kita tanam diplester untuk diujikan. Misalnya, dari sembilan ekstrak akan ketahuan mana yang ada reaksi dan mana yang tidak. Kalau tetap tidak ada (reaksi) bentol atau warna merah berarti itu tidak alergi dan sebaliknya," jelas Prof Junaidi.

Ia menyebut, kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal berguna untuk mengidentifikasi jenis alergen, baik alergen ingestan (alergi makanan) dan alergen inhalan (terhirup melalui udara) dalam tubuh manusia.

Selain itu, keunggulan patch dibuat dari bahan elastis yang tidak menimbulkan goresan maupun efek samping sehingga dapat dilakukan secara mandiri.

Lebih lanjut, ketika penderita mengetahui jenis alergen apa yang dialaminya, maka bisa diminimalisasi dengan imunoterapi berupa desensitisasi secara berulang sampai penderita memiliki kekebalan yang lebih baik.

Menurut Prof Junaidi, pihaknya juga telah mengembangkan bahan ekstrak yang sama untuk terapi dalam bentuk tablet.

Sementara itu, dari keterangan pakar ahli farmakologi molekuler itu, kit diagnostik ekstrak alergen kini sudah memasuki tahap uji coba skala besar dalam dua tahun terakhir.

"Pada batch ketiga nanti selesai, maka bisa diproduksi yang akan bekerja sama dengan PT Bio Farma," sambungnya.

Bagi Prof Junaidi, tantangan dalam riset ini adalah saat proses mendesain patch agar bisa menempel dan melepas dengan baik. Kemudian, menjalin kerja sama dengan industri untuk hilirisasi dari inovasi yang ada.

"Harapan kami tentu ini bisa direalisasikan dan bisa diproduksi massal karena kemanfaatan untuk kemanusiaan jauh lebih besar. Oleh sebab itu, ketika produk ini beredar di masyarakat, kita juga akan menekan harga se-fair mungkin sehingga bisa dijangkau," pungkas anggota ahli BPOM RI tersebut.


(hil/iwd)


Hide Ads