Menko Polhukam Mahfud Md menilai keputusan yang diambil PN Jakarta Pusat soal penundaan Pemilu 2024 adalah kesalahan besar. Ia pun menyentil hakim tersebut dengan pesan menohok.
Berikut sederet sentilan Mahfud Md pada Hakim PN Jakpus tersebut:
1. Hakim Tak Paham Hukum
Mahfud menganggap, hakim yang mengadili perkara tersebut tak paham soal hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasti semua ahli hukum, semua orang tahu hukum terutama yang tahu, taksonomi ilmu hukum menyatakan itu salah besar," terang Mahfud Md kepada wartawan usai menghadiri pemberian gelar doktor kehormatan dari Universitas Brawijaya kepada Menteri BUMN Erick Thohir, Jumat (3/3/2023).
"Saya kira hakimnya nggak mengerti, taksonomi ilmu hukum, yang sangat dasar silakan saja KY turun nggak papa. Sudah diumumkan KPU akan mengajukan banding," imbuhnya.
2. Hakim Salah Kamar
Menurut Mahfud, proses peradilan yang diputuskan oleh PN Jakpus bisa dibilang salah kamar. Sebab, persoalan pemilu bukan kewenangan pengadilan negeri, melainkan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena kamarnya beda, urusan pemilu itu pengadilannya bukan di pengadilan negeri. Tapi kalau sudah hasil pemilu ada MK, kalau proses awal itu PTUN atau Bawaslu," tegasnya.
3. Tidak Bisa Diadili dengan Hukum Perdata
Belum lagi, lanjut Mahfud, perkara perdata yang diadili lebih kepada perkara private, sementara KPU merupakan lembaga berbadan hukum publik.
"Itu sudah punya undang-undang, kok ini menjadi hukum perdata, hukum perdata kan private. Sementara KPU badan hukum publik," tambah Mahfud Md.
Mahfud Md memiliki permintaan pada KPU. Baca di halaman selanjutnya!
4. Minta KPU Melawan
Untuk itu, Mahfud meminta KPU untuk melawan dan rakyat tentunya akan memberikan dukungan. Dan semua mantan Ketua MK juga telah membahas terkait putusan tersebut, semua kompak menyatakan bahwa keputusan itu salah.
"Oleh sebab itu ya biar KPU melawan dan rakyat mendukung. Semua mantan ketua MK juga sudah bicara bahwa itu salah, semua ahli hukum tata negara juga sudah bilang itu salah," ujarnya.
"Kalau dipaksakan ya nanti dieksekusi juga kan. Karena objeknya beda, misal kayak kamu jadi hakim memutus tanah di Blitar harus dirampas oleh negara. Sementara nomor sertifikat tanahnya ada di Tulungagung, kan nggak bisa dieksekusi. Sama dengan itu," imbuhnya.
5. Putusan PN Jakpus
Putusan PN Jakpus tersebut berawal dari gugatan yang dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu. Dalam gugatannya, Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu.
Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia akibat tindakan KPU. Karena itu, Partai Prima pun meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
Hasilnya, hakim mengabulkan seluruh gugatan Partai Prima. Hakim memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024. .
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," demikian bunyi putusan tersebut.