Presiden Joko Widodo memberi PR setiap daerah untuk menurunkan angka stunting. Diketahui, kasus stunting ini memang sukar diturunkan dan membutuhkan proses yang cukup lama.
Namun, ada sejumlah daerah seperti di Surabaya, Sampang dan Pamekasan yang kasus stuntingnya turun signifikan dalam waktu yang relatif sebentar. Ahli gizi pun mempertanyakan hal ini.
Ahli Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair), Dr Ir Annis Catur Adi MS mengatakan, kasus stunting faktornya dari tinggi badan. Pertumbuhan tulang jika stunting juga cukup lambat yakni hanya 1 cm dalam satu bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika per tahun prevalensi turun 2 hingga 3 persen, Catur menilai penurunan stunting sudah bagus. Namun, jika ada wilayah yang turun hingga 20 persen dalam setahun, ia menilai hal ini sudah tak wajar.
Annis mengatakan, untuk level provinsi dan nasional, penurunan angka stuntingnya masih wajar. Misalnya dari 27 persen turun menjadi 21 persen hingga 22 persen.
Ia pun mempertanyakan daerah-daerah dengan penurunan kasus stunting yang signifikan. Salah satunya adalah Surabaya. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kemenkes, prevalensi angka stunting di Kota Pahlawan menurun secara signifikan.
Pada tahun 2021, prevalensinya mencapai 28,9 persen (6.722 balita), di 2022 signifikan menurun hingga ke angka 4,8 persen (923 balita).
"Jatim turunnya juga pelan itu rasional. Tapi bagi yang turunnya lompat, itu wajib dipertanyakan. Ada apa? Contohnya seperti Surabaya angakanya sebelumnya 28 persen, ternyata sekarang turun menjadi 4 koma persen. Ini menjadi pertanyaan besar, ada apa ini? Nah ini yang perlu dilakukan validasi," kata Annis saat dihubungi detikJatim, Jumat (24/2/2023).
Kemudian, ia juga mencontohkan wilayah Sampang dan Pamekasan, yang angka stunting tahun 2021 mencapai 38 persen. Lalu, pada tahun 2022 turun menjadi sekitar 8 persen. Penurunan yang signifikan itu pun dirasa wajib dipertanyakan.
"Kalau secara keilmuan, bahwa penurunan itu berjalan dengan lamban, karena yang diukur adalah pertumbuhan tulang, jadi pasti pelan. Berbeda dengan pertumbuhan berat badan. Maka jika terjadi penurunan yang sampai 20 persen dan sebagainya, kalau saya sebagai akademisi wajib mempertanyakan. Apakah ada kesalahan dalam metodologinya, apakah ada kesalahan dalam pengukurannya. Salah itu bisa tanda kutip, salah atau rekayasa," jelasnya.
Menurutnya, jika penurunan stunting di angka 2 persen hingga 4 persen akan dirasa wajar karena masih normal. Artinya, intervensi yang diberikan terus bertahap baik, bukan lompat-lompat.
Selain itu, penurunan angka stunting yang signifikan juga bisa karena ada intervensi politik. Oleh karena itu, ia berharap penurunan disampaikan dengan jujur dalam mengukur, karena tujuannya menyelamatkan anak bangsa. Sebab, masa pemenuhan gizi penting untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak.
"Ini harus ada spirit kemanusiaan. Politik itu boleh, politik itu justru kekuatan untuk merealisasi upaya-upaya itu, ada dukungan politik. Ada penguatan alokasi anggaran, sumber daya untuk support untuk penanggulangan stunting," bebernya.
"Tapi akan menjadi kurang ketika adanya politik menginginkan sesuatu 'agak tidak wajar'. Karena stunting menjadi indikator keberhasilan pemerintahan daerah, bupati, wali kota. Kalau ada kegagalan stunting menjadi cap merah dan ndak mau, maunya dipuji bukan dicaci. Makanya diluruskan niatnya," urai Annis.
Ia berharap, dalam pelaksanaan mengentas stunting mengedepankan tentang kemanusiaan, ada panggilan untuk menyelamatkan tumbuh kembang anak yang sangat bagus agar tidak berulang lagi. Dengan adanya intervensi berbasis makanan, non makanan seperti edukasi dan lainnya, diharapkan mempercepat pemulihan terhadap anak-anak yang mengalami kekurangan gizi terutama stunting.
"Tapi kecepatannya, kecepatan sesuai dengan keilmuan. Bahwa proses pertumbuhan tulang dilatih pelan berbeda dengan berat badan. Harusnya akademisi atau stake holder yang paham harus terbiasa menyampaikan yang benar, meskipun hasilnya berbeda dengan kemauan kepala daerah. Tapi itu dituntut intergritas keilmuannya," pungkasnya.
(hil/fat)