Di tengah banjir di sejumlah wilayah Lamongan, 2 pasang mempelai warga Dusun Melawe, Desa Kepudibener, Kecamatan Turi tetap menjalankan akad pernikahan. Dua mempelai yang rumahnya berjarak 5 persil itu terpaksa menggelar pernikahan tanpa tenda, tanpa pengeras suara.
Itu harus dilakukan karena di luar rumah masing-masing mempelai jalan dusun itu full banjir dengan ketinggian air mencapai 50 cm atau setinggi lutut. Akses ke lokasi rumah mereka pun sulit. Jalur darat lumpuh karena banjir sehingga penghulu harus melintasi sungai naik baito.
"Baito itu perahu kecil pakai motor diesel. Sekali naik tarifnya Rp 40 ribu. Harus naik itu ke lokasi, karena jalur darat di dua desa, Desa Kepudibener dan Pomahanjanggan lumpuh," ujar Kepala KUA Kecamatan Turi, Lamongan M Badrus Soleh kepada detikJatim, Kamis (23/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badrus yang kebetulan menikahkan 2 mempelai itu menceritakan perjalanannya naik baito menuju Desa Kepudibener. Sebelum membelah sungai, antrean baito di Pasar Kiringan, Desa Kemlagi Lor, Turi, ternyata cukup lama. Imbasnya, pernikahan kedua mempelai mundur dari jadwal.
"Acaranya tadi harusnya jam jam 9 pagi sama jam 10. Tapi karena harus antre kapal dulu, kami baru naik baito itu jam 9. Akhirnya acaranya molor. Jadinya jam 10 sama jam 10.30 WIB," tambahnya.
![]() |
Setelah mendapat baito, Badrus bersama perwakilan keluarga yang menjemputnya menuju ke lokasi pernikahan membelah Bengawan Njero, yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo sejauh kurang lebih 3 KM.
Tiba di lokasi, Badrus dan satu orang rekannya harus berjalan kaki ke rumah kedua mempelai menembus banjir dengan ketinggian variatif. Rata-rata banjir setinggi 30 cm atau setinggi betis.
"Di Desa Kepudibener juga di Desa Pomahanjanggan itu full air. Turun dari baito tadi kami harus jalan kaki sekitar 500 meter untuk menuju ke rumah mempelai. Ya harus ngebak (Melepas alas), celana dicincing, jalan kaki ngelewati banjir," ujarnya.
Dia mengatakan meski dirinya harus bersusah payah menuju ke lokasi pernikahan kedua mempelai, diakui bahwa perjalanan naik perahu dan menembus banjir itu seru. Namun, cerita proses akad pernikahan di rumah kedua mempelai itu menurutnya tidak kalah seru.
Cerita pernikahan di tengah banjir. Baca di halaman selanjutnya.
Di rumah mempelai pertama yang dinikahkan, Badrus mendapati banjir sudah masuk ke dalam rumah. Untuk mengakalinya, pemilik rumah menempatkan mesin diesel untuk menyedot keluar air di dalam rumah dialirkan dengan selang melalui jendela.
"Manten yang satu itu Pak Matoha, di rumahnya itu air masuk ke rumah. Jadi disiapkan diesel untuk menyedot air keluar. Kalau nggak ditarik keluar, airnya masuk ke rumah lagi. Jadi diesel itu nyala terus. Pas akad pun nyala," ujarnya.
Otomatis, tambah dia, suara berisik mesin diesel itu mewarnai proses ijab kabul antara Matoha sebagai mempelai pria dengan wali nikah bakal istrinya ditengahi Badrus. Karena tanpa menggunakan sound system, sang mempelai pria harus lebih mengeraskan suaranya saat mengucapkan kalimat ijab kabul.
"Ya berisik. Pas akad ya rada get sitik ngomonge (Pas akad ya agak keras sedikit ngomongnya) tapi ga teriak-teriak. Saksine kupinge dicedekne kabeh (Para saksi harus mendekatkan telinganya)," ujar Badrus lalu tertawa. "Apalagi pada saat akad itu posisi hujan deras.
Untung saja mesin diesel penyedot air itu bisa diterapkan di rumah sang mempelai. Karena sebelumnya, kata Badrus, mempelai sudah memiliki rencana bila genangan banjir di dalam rumah tidak ada solusi.
"Itu umpama nggak bisa pakai diesel, sesuai dengan rencananya kemarin itu, Pak Matoha mau akad nikah di atas kapal. Di atas baito. Tapi karena sudah ada diesel nggak jadi di atas baito," katanya.
![]() |
Meski begitu, pernikahan Matoha, dengan segala hambatan dan kendalanya, pada akhirnya berjalan lancar. Sang mempelai pria telah mengucapkan kalimat ijab kabul dengan suara lantang dan jelas sehingga para saksi berteriak "sah!" di tengah bising suara diesel dan guyuran hujan deras.
Demikian halnya pelaksanaan akad nikah mempelai lainnya. Badrus menegaskan bahwa situasinya sama. Hanya saja rumah tempat proses akad nikah mempelai itu lebih tinggi dari rumah mempelai sebelumnya. Sehingga air tidak sampai masuk ke dalam rumah.
"Satunya rumah Mas Alamsyah yang mempelai pria itu, rumahnya agak tinggi. Tapi tetap nggak bisa kuade di luar. Kuadenya akhirnya ditaruh di dalam. Nggak ada tenda, karena keluarganya sudah antisipasi. Ini bulan-bulannya banjir," ujar Badrus.
Warga di Desa Kepudibener, menurut Badrus yang sudah bertugas lama di kawasan banjir, memang sudah terbiasa dengan banjir yang datang setiap tahun. Daerah itu memang langganan banjir.
Badrus mengatakan banjir setiap tahun melanda sejumlah desa di Kecamatan Turi, Kecamatan Glagah, Kecamatan Karangbinangun, Kecamatan Deket dan Kecamatan Kali Tengah.
Selain karena selama 2 pekan terakhir kawasan Lamongan terus diguyur hujan, banjir yang terjadi juga karena ada air kiriman dari daerah yang lebih tinggi. Baik dari Kecamatan Sugio maupun dari Kecamatan Babat.
Sementara, Desa Kepudibener dan Desa Pomahanjero merupakan desa yang permukiman warganya berada di bantaran Bengawan Njero. Seharusnya, aliran air dari daerah yang lebih tinggi di Bengawan Njero itu terus mengalir ke bawah hingga akhirnya bermuara ke Bengawan Solo.
"Nah, puncaknya (Muaranya) itu di Desa Kuro, Kecamatan Karangbinangun. Kalau pintu air di Desa Kuro itu dibuka, air di Kepudibener sama Pomahanjanggan bisa surut. Tapi kan debit air Bengawan Solo sedang tinggi. Kalau dibuka akhirnya rumah warga di Desa Kuro yang banjir parah," ujarnya.