Sebanyak 449 remaja usia SD, SMP dan SMA di Kabupaten dan Kota Mojokerto mengajukan pernikahan dini dalam satu tahun. Oleh sebab itu, para orang tua, sekolah dan pemerintah daerah harus berkolaborasi untuk mencegah pernikahan dini yang masih marak.
Berdasarkan data yang dirilis Pengadilan Agama (PA) Kelas IA Mojokerto, 449 remaja mengajukan dispensasi kawin sepanjang 2022. Dari jumlah itu, 1 pemohon baru berusia 13 tahun atau kelas 6 sekolah dasar (SD).
Sebanyak 154 pemohon masih berusia SMP, yakni 2 remaja usia 14 tahun, 65 remaja usia 15 tahun, serta 87 remaja usia 16 tahun. Sedangkan 294 remaja usia SMA, terdiri dari 98 pemohon usia 17 tahun dan serta 196 pemohon usia 18 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dipersentase banyak perempuannya yang usianya di bawah 19 tahun. Sekitar 65 banding 35 persen. Yang perempuan mayoritas masih usia pelajar, tidak banyak yang sudah lulus SMA," kata Humas PA Kelas IA Mojokerto Supriyadi kepada detikJatim , Sabtu (4/2/2023).
Supriyadi berpendapat terdapat sejumlah faktor yang mendorong pernikahan dini. Mulai dari kekhawatiran para orang tua terhadap pergaulan anak-anak mereka yang berpotensi terjadi kehamilan di luar nikah, hingga kondisi remaja putri yang terlanjur hamil duluan sehingga terpaksa married by accident (MBA).
"Di zaman sibuk seperti ini, suami dan istri sibuk bekerja karena tuntutan kehidupan, anak-anak kadang-kadang kurang pengawasan. Sebetulnya yang bisa menjaga mereka para orang tua, pemerintah daerah, guru harus bersama-sama," terangnya.
Permohonan dispensasi kawin (Diska), lanjut Supriyadi menunjukkan tren penurunan dalam 3 tahun terakhir. Sepanjang 2021, permohonan diska mencapai 563 perkara. Dengan rincian 9 permohonan dicabut, 1 ditolak, serta 553 permohonan dikabulkan.
Permohonan diska di Kabupaten dan Kota Mojokerto turun 72 perkara menjadi 491 sepanjang 2022. Dengan rincian 13 permohonan dicabut, 3 ditolak, 2 gugur, serta 473 permohonan dikabulkan oleh PA Kelas IA Mojokerto.
Sedangkan sepanjang Januari 2023, permohonan diska di angka 27 perkara. Jumlah tersebut turun dibandingkan Januari 2022 terdapat 45 permohonan dan Januari 2021 sebanyak 66 permohonan.
"Berlakunya perubahan Undang-undang Perkawinan sejak tahun 2019 berpengaruh membuat angka pernikahan dini turun. Bisa dilihat dalam dua tahun ini ada progres penurunan," jelasnya.
UU RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah diubah menjadi UU RI nomor 16 tahun 2019. Sehingga usia perkawinan yang sebelumnya minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, menjadi minimal 19 tahun bagi perempuan maupun laki-laki.
Wakil Ketua PA Mojokerto Siti Hanifah menegaskan masih maraknya pernikahan dini bukanlah kekeliruan dari Pengadilan Agama. Sebab pihaknya sebatas menangani permohonan diska ketika pernikahan dini sudah tidak bisa dicegah. Menurutnya pencegahan perkawinan dini menjadi tanggung jawab bersama para orang tua, sekolah dan pemerintah daerah.
Hanifah menilai, negara juga sudah berupaya mencegah pernikahan dini menggunakan regulasi. Selain menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun, pemerintah juga menelurkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Diska.
"Dalam Perma tersebut, MA sudah memfilter permohonan diska dengan persyaratan yang sebetulnya tidak mudah dan detail. Salah satunya harus ada alasan mendesak dari pemohon yang bisa menjadi pertimbangan hakim mengabulkan permohonan diska," tegasnya.
Selain itu, kata Hanifah, Perma tersebut juga mengatur pemeriksaan perkara diska dilakukan hakim tunggal. Sehingga keputusan tanpa melalui musyawarah majelis. Hakim bisa memeriksa pasangan remaja yang ingin menikah tanpa didampingi orang tua mereka.
Ditambah lagi orang tua wajib berkomitmen menjamin keberlangsungan pernikahan anak mereka sampai menjadi rumah tangga yang mandiri. Pemohon diska wajib mendapatkan rekomendasi dari psikolog P2TP2A Mojokerto, serta surat hasil pemeriksaan kesehatan dari puskesmas.
"Pemeriksaan calon pengantin diupayakan tanpa ada orang tuanya. Karena ada kemungkinan pernikahan mereka terpaksa diminta orang tua, juga untuk mengukur kemampuan ekonomi dan jiwa raganya," tuturnya.
Hanifah menambahkan pencegahan perkawinan dini menjadi tanggung jawab bersama para orang tua, sekolah dan pemerintah daerah. Untuk menekan angka pernikahan dini, ia menyarankan pemerintah daerah membuat Perda.
"Pemda bisa membuat Perda untuk mempersempit ruang pernikahan dini. Misalnya sanksi denda bagi pernikahan dini yang tidak masuk kategori mendesak," tandasnya.
(dpe/iwd)