Psikolog Beberkan KDRT Bisa Dipicu Faktor Ekonomi-Trauma Masa Lalu

Psikolog Beberkan KDRT Bisa Dipicu Faktor Ekonomi-Trauma Masa Lalu

Esti Widiyana - detikJatim
Kamis, 12 Jan 2023 14:08 WIB
one caucasian couple man and woman expressing domestic violence in studio silhouette   on white background
Ilustrasi KDRT (Foto: Dok. iStock)
Surabaya - Polisi resmi menetapkan Ferry Irawan menjadi tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Venna Melinda. Penetapan tersebut merupakan buntut laporan Venna Melinda karena mengalami KDRT saat keduanya berada di Kota Kediri.

Psikolog Klinis dan Forensik Surabaya, Riza Wahyuni mengatakan ada berbagai macam bentuk KDRT yang terjadi. Tak hanya suami kepada istri, tapi bisa terjadi pada orang-orang yang masih berada di dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Pada kategori pertama, KDRT bisa terjadi secara fisik seperti kekerasan suami ke istri dan sebaliknya. Atau orang tua terhadap anak, lalu majikan terhadap asisten rumah tangga (ART).

Sedangkan KDRT kedua yakni terkait dengan psikologi seperti merendahkan, menghina sampai diskriminasi. Ketiga, kekerasan seksual yang berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi.

"Kami menemukan juga kasus seperti ini. Atau kemudian pemaksaan streil dan sebagainya. Dan kekerasan keempat itu adalah penelantaran yang menyebabkan korban menderita, baik secara fisik, psikologi atau sosial, itu yang kita sepakati. Artinya kekerasan dalam rumah tangga itu harus komplek," kata Riza saat dihubungi detikJatim, Kamis (12/1/2023).

Sedangkan untuk pemicunya, Riza menyebut bisa disebabkan mulai masalah ekonomi, perbedaan kepribadian atau ketidakcocokan sifat pasangan, faktor kesehatan mental atau pelaku mengalami masalah yang berkaitan dengan masalah mental.

"Lalu berkaitan dengan masalah orang ketiga. Itu macam-macam, bisa saja perempuan atau laki-laki lain, atau orang tua, atau anggota keluarga lain yang ikut campur," ujar Psikolog, Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim ini.

Menurut Riza, latar belakang pelaku KDRT di massa lalu juga turut menjadi pemicu. Sehingga saat berkeluarga, seseorang tersebut rentan untuk melakukan ulang kekerasan yang pernah dialami atau dilihat.

Hal itu kemudian berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan kepribadiannya. Sehingga perilaku kekerasan menjadi kebiasaan. Kasus ini akan terdeteksi ketika sudah melakukan pendekatan kepada orang tersebut.

Namun, Riza juga menemukan beberapa korban yang ia tangani selalu berpikir pelaku bisa berubah seiring berjalannya waktu, dengan alasan memiliki anak atau kondisi ekonomi lebih baik, atau menganggap setelah menikah akan lebih baik.

"Padahal siklus KDRT itu jelas, ada pencetus, bisa masalah ekonomi atau apa. Kemudian pelaku melakukan kekerasan, nanti ada namanya fase pemaafan, biasanya pelaku akan minta maaf dengan alasan khilaf dan emosi, aku gak sengaja, gak niat. Itu menyebabkan korban cenderung memaafkan dan memaklumkan," jelasnya.

"Kemudian, terjadi fase bulan madu, ditambah lagi KDRT itu berbasis gender apalagi si perempuan merasa suami marah karena tidak melayani dengan baik," tambahnya.

Fase bulan madu sendiri seperti orang jatuh cinta. Setelah kembali dengan pasangan, maka bisa terjadi lagi kekerasan. Bahkan, yang mulanya bentakan, kemungkinan berikutnya mulai bermain fisik. "Biasanya semakin lama akan semakin parah, itu yang tidak disadari oleh korban sehingga mereka cenderung memilih untuk diam," katanya.

Korban memilih diam pun ada berbagai alasan. Yaitu karena masih mempunyai harapan agar pasangannya berubah, stigma masyarakat yang masih belum berpihak pada perempuan, seolah-olah perempuan menjadi korban KDRT merupakan hal wajar karena berani melawan suami atau tidak bisa melayani suami.

"Di masyarakat yang banyak disalahkan perempuan. Sehingga perempuan gak berani mengadu. Kemudian dianggap privasi, masalah keluarga kok disebar aibnya, gitu. Itu yang membuat perempuan atau IRT (ibu rumah tangga) atau anak-anak yang mengalami kekerasan tidak berani speak up," tandas Riza.


(abq/fat)


Hide Ads