Soal Adab Siswa, Guru Minta Ortu Tak Serahkan Sepenuhnya Pendidikan ke Sekolah

Soal Adab Siswa, Guru Minta Ortu Tak Serahkan Sepenuhnya Pendidikan ke Sekolah

Erliana Riady - detikJatim
Kamis, 24 Nov 2022 12:20 WIB
hari guru di blitar
Sri Haryati, guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Kademangan Blitar (Foto: Erliana Riady/detikJatim)
Blitar -

Beberapa kasus mundurnya adab dan sopan santun para siswa membuat miris banyak pihak. Tak terkecuali para guru, yang punya tugas mendidik mereka di sekolah. Mereka meminta, orang tua tidak menyerahkan pendidikan moral siswa sepenuhnya kepada sekolah.

Seperti penuturan Sri Haryati, guru Bahasa Indonesia di SMPN 1 Kademangan, Kabupaten Blitar. Menurut Haryati, jika dulu dia berjuang bersama ribuan guru K2 untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Kini setelah berhasil diangkat menjadi PPPK, misi perjuangannya sudah sangat berubah.

"Alhamdulillah per April 2022, saya mendapat SK PPPK dari Bupati Blitar. Itu setelah saya mengajar selama 26 tahun disini. Saya tetap berjuang. Dulu sabar menunggu menjadi pegawai negeri, sekarang harus lebih sabar mendidik siswa saya," aku alumni IKIP Negeri Malang ini kepada detikJatim, Kamis (24/11/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haryati mengaku, pengaruh gadget sangat besar bagi perkembangan psikis dan moral anak didiknya. Di awal mengajar sekitar tahun 1997, siswa masih terbiasa menggunakan bahasa Jawa kromo inggil jika berkomunikasi dengan gurunya. Baik di dalam lingkungan sekolah, maupun di luar sekolah. Sopan santun dan adab siswa, juga diajarkan para wali murid kepada putra putri mereka.

"Tapi sejak ada HP. Siswa banyak menghabiskan waktu mengkonsumsi medsos. Seperti TikTok, waduh semakin kesini makin ndak ngerti unggah-ungguh. Kami para guru ini dilema. Mau didisiplinkan, nanti orang tua nggak terima. Diingatkan saja, ada yang tersinggung mereka," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Seperti soal rambut tidak boleh gondrong. Memang tidak ada aturan baku atau tertulis, bahwa siswa harus berambut pendek. Hanya harus rapi agar tidak mengganggu konsentrasi saat belajar. Selama beberapa puluh tahun mengajar, Haryati mengaku pernah memotong rambut siswanya karena gondrong. Jika dulu, orang tua menerima, walaupun kemudian mereka merapikannya sendiri di rumah.

"Kalau sekarang nggak bisa kami seperti itu. Wali murid bilang, anak mereka biasa cukur di salon. Nggak akan terima kalau kami yang motong di sekolah. Lalu siswa didik berkata keras kepada guru, ketika kami memberitahu orang tuanya, mereka malah curhat. Kok sama gurunya, lha wong sama mamanya saja suka membentak," imbuhnya.

Pengetahuan parenting dan pola komunikasi dengan anak yang tidak satu arah, tambah Haryati, seharusnya dibangun di dalam rumah. Karena perbandingan waktu siswa di sekolah lebih sedikit dibandingkan waktu mereka selama di rumah.

Namun kesibukan orang tua zaman sekarang, kerapkali tidak menghiraukan hal yang sebenarnya penting tersebut. Sehingga anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di depan HP, daripada ngobrol dengan orang tuanya.

"Tanggung jawab mendidik anak itu sebaiknya tidak diserahkan sepenuhnya ke pihak sekolah. Karena madrasatul al-ula, pendidik pertama dalam keluarga itu adalah sosok ibu dan keluarganya. Sekolah itu, implementasi pendidikan anak di rumah," tandasnya.

Haryati juga menambahkan, selain pendidikan moral anak di rumah, kurikulum pendidikan moral sebaiknya diadakan lagi. Seperti dulu ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Nama mata pelajaran ini diubah lewat Kurikulum 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

"Sekarang Pancasila saja banyak yang tidak hafal. Tidak ada pendidikan moralnya. Tidak hanya guru yang bertanggung jawab mendidik moral anak. Namun tanggung jawab utama di keluarga, dan didukung semua pihak," pungkasnya.




(abq/fat)


Hide Ads