Belakangan ini aksi siswa di Jatim menjadi perhatian publik. Mulai dari siswa menendang siswi di Nganjuk, hingga siswa SMP Sidoarjo yang mengumpat polisi. Itu menunjukkan bahwa anak-anak tidak lagi hanya menjadi korban kekerasan, tetapi juga menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Ada sejumlah faktor yang diduga mendorong siswa melakukan perbuatan tak terpuji seperti yang belakangan terjadi. Perilaku anak berubah menjadi seperti orang dewasa, diduga karena adanya 2 faktor.
"Sebetulnya beberapa kasus lebih disebabkan karena pengaruh perilaku anak yang seperti orang dewasa. Dugaannya ada dua faktor, informasi dan lingkungan," ujar Isa Anshori, Ketua Bidang Data, Informasi, dan Litbang Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Jatim, Selasa (22/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isa mencontohkan perubahan perilaku anak yang nyata adalah pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak-anak. Mereka melakukan perbuatan itu dengan cara orang dewasa.
"Itu kan perilaku orang dewasa. Caranya itu, kan, cara orang dewasa. Nah pertanyaannya, mereka dapat informasi seperti itu dari mana, kan, begitu ya? Saya menduga itu bukan dari orang tuanya," ujarnya.
Tidak hanya perilaku-perilaku tak wajar yang seharusnya tidak dilakukan anak-anak, Isa juga menangkap fenomena di mana anak sekarang menjadi semakin emosional. Menurut Isa, sikap emosional itu juga bukan didapat dari orang tua mereka.
"Seperti kasus di Sidoarjo itu (Siswa mengumpat polisi saat diberi peringatan karena tidak memakai helm). Kan, enggak mungkin orang tua mengajari begitu. Pasti karena melihat informasi dari sumber lainnya," katanya.
Informasi dari sumber lain itulah yang menurut Isa saat ini menjadi 'tertuduh'. Yakni informasi yang berasal dari sumber-sumber terdekat dengan anak-anak di era sekarang, yang sangat mudah mereka akses.
"Informasi itu menjadi yang tertuduh. Melalui informasi itu mereka menduplikasi perilaku. Tapi soal perilaku ini ada 2 kemungkinan. Bisa dari perilaku orang tua yang mendidik secara keras, atau lagi-lagi dari sumber lainnya yang dia lihat dan dia contoh," ujarnya.
Imbas peningkatan kasus kekerasan terhadap anak. Baca di halaman selanjutnya.
Soal perilaku orang tua dan faktor lingkungan yang membentuk perilaku anak yang emosional, Isa menyebutkan data bahwa kekerasan terhadap anak di Jatim pada 2022 mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Dibandingkan 2021 pada saat Pandemi COVID-19 yang jumlahnya 363 kasus, hingga November 2022 ini kasus kekerasan terhadap anak sudah meningkat menjadi sekitar 451 kasus.
Baca juga: PR Siswa SD-SMP di Surabaya Resmi Dihapus! |
Meskipun kasus kekerasan seksual masih mendominasi rentetan kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap anak yang sifatnya fisik dan verbal juga cukup banyak ditemui.
"Faktor-faktor itu menjadi semacam pembenar, bahwa ada kesalahan bagi anak dalam mendapatkan informasi. Mereka diasuh oleh situasi dewasa yang bersumber dari informasi yang dia dapatkan. Juga dari lingkungan tempat mereka bergaul," kata Isa.
Baca juga: Dendam Membara, Cucu Bunuh Kakek di Surabaya |
Pandemi COVID-19 selama 2 tahun menurutnya sangat berpengaruh besar pada pembentukan perilaku anak-anak sekarang. Selama 2 tahun itu anak-anak diasuh lingkungan yang tidak terkontrol oleh sekolah maupun orang tua, serta diasuh oleh informasi yang seharusnya belum waktunya mereka dapatkan.
"Orangtuanya sibuk, sekolahnya online. Lalu ke mana dia? Dia akan ngumpul di tempat-tempat orang dewasa. Misalnya di warung kopi. Mereka main game sama teman-temannya sambil misuh-misuh (mengumpat), jadi tidak terkontrol. Ya itulah. Ini akibat 2 tahun yang mereka alami," kata Isa.