Sejumlah negara terancam bangkrut karena krisis ekonomi. Saat ini, Sri Lanka menjadi salah satu negara yang disorot alami krisis ini.
Krisis ekonomi akan menyebabkan biaya pangan dan bahan bakar melonjak. Meskipun penyebab di setiap negara berbeda-beda. Dilansir dari detikFinance, ada sejumlah negara yang terancam bangkrut.
Tak hanya itu, pendapatan per kapita di negara berkembang akan menjadi 5% di bawah tingkat prapandemi tahun ini. Hal ini yang telah diperkirakan oleh Bank Dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikFinance menghimpun negara yang berisiko alami kebangkrutan, simak yuk!
1. Afghanistan
Sejak Taliban mengambil kendali negara setelah AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka tahun lalu, Afghanistan alami krisis ekonomi.
Bantuan asing yang menjadi andalan praktis terhenti dalam semalam dan Afghanistan terkena sanksi, seperti layanan transfer bank yang terhenti yang melumpuhkan sektor perdagangan. Selain itu pemerintahan Biden juga membekukan US$ 7 miliar cadangan mata uang asing Afghanistan yang disimpan di Amerika Serikat.
Hal ini membuat sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat, dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.
Parahnya, gempa bumi dahsyat baru-baru ini menewaskan lebih dari 1.000 orang, menambah kesengsaraan itu.
2. Argentina
Argentina juga mengalami krisis serupa saat kehabisan cadangan devisa karena mata uang melemah. Sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina terpaksa harus hidup miskin. Bahkan negara tersebut sudah diprediksi akan mengalami inflasi melebihi 70% tahun ini.
Saat ini, jutaan orang Argentina bertahan hidup berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak diantaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa
3. Mesir
Kemiskinan juga dialami Mesir saat inflasi melonjak hamper 15 persen pada April 2022. Sebanyak 103 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Masyarakat Mesir sudah menderita karena program reformasi ambisius pemerintahnya membuat mata uang mereka mengambang dan memangkas subsidi bahan bakar, air, hingga listrik.
Belum lagi, kebijakan bank sentralnya yang menaikkan suku bunga demi mengekang laju inflasi telah menjebak pemerintahnya kesulitan membayar utang luar negeri yang menumpuk.
4. Laos
Persis seperti Sri Lanka, utang negara ini melambung jauh saat pandemi melanda. Negara kecil yang terkurung daratan di Asia Tenggara ini sebetulnya mencatat pertumbuhan ekonomi tercepat sebelum pandemi covid-19 melanda.
Masalah semakin pelik karena menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos tersisa hanya kurang dari dua bulan impor. Mata uangnya pun jatuh 30 persen yang memperburuk kesengsaraan negara itu.
Ada Lebanon hingga Turki, cek di halaman selanjutnya!
5. Lebanon
Seperti Sri Lanka, Lebanon juga menderita karena mata uangnya jatuh hingga 90 persen. Belum lagi, lonjakan inflasi, yang berakibat pada krisis pangan dan krisis energi.
Lebanon menderita krisis ekonomi akibat perang saudara yang panjang, yang menghambat pemulihan negaranya dan disfungsi pemerintah, serta serangan teror.
Lebih parahnya, Lebanon gagal membayar utang mereka senilai US$90 miliar. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap PDB. Bank Dunia mengatakan krisis ekonomi Lebanon menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
6. Myanmar
Ekonomi Myanmar juga mengalami ketidakstabilan politik saat pandemi, terutama setelah aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran. Kini kondisi ekonomi Myanmar diperkirakan telah terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi. Hal ini tentunya membuat situasi di Myanmar semakin tak terkendali. Bahkan, Bank Dunia tak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
7. Pakistan
Sumber daya alam khususnya minyak mentah kian melonjak. Hal ini mendorong naiknya harga bahan bakar yang pada gilirannya menaikkan biaya lainnya, mendorong inflasi hingga lebih dari 21%. Selain itu nilai mata uang Pakistan, rupee, telah jatuh sekitar 30% terhadap dolar AS pada tahun lalu.
Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket bailout senilai US$ 6 miliar yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan digulingkan pada bulan April lalu.
Saat ini, Pakistan tengah meminta bantuan IMF untuk mencairkan dana talangan US$60 miliar. "Risiko ekonomi makro Pakistan sangat condong ke bawah," tulis Bank Dunia memperingatkan.
8. Turki
Lira sebagai mata uang Turki juga mulai melemah. Hal ini membuat Tturki terjebak dalam krisis dan alami inflasi lebih dari 60%.
Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan gagal membawa Turki keluar dari krisis.
Sementara, utang luar negeri Turki sudah menembus 54 persen dari PDB negaranya, tingkat yang cukup mengkhawatirkan mengingat utang pemerintahnya mendominasi.
9. Zimbabwe
Inflasi juga terjadi di negara Zimbabwe. Lonjakan lebih dari 130% meningkatkan resiko terjadinya hiperinflasi di negara tersebut, seperti yang pernah terjadi pada 2008 lalu.
Saat ini Zimbabwe sendiri tengah berjuang untuk menghasilkan arus masuk yang memadai dari greenback yang dibutuhkan untuk ekonomi lokalnya yang sebagian besartelah terpukul oleh tahun-tahun deindustrialisasi, korupsi, investasi rendah, ekspor rendah dan utang tinggi.
Ironisnya, inflasi di Zimbabwe telah membuat warganya tidak lagi mempercayai mata uang tersebut. Selain itu banyak warganya yang terpaksa melewatkan makan karena kemiskinan.