Disabilitas berkarya. Dua kata itu nampaknya cocok disandingkan dengan 5 penyandang disabilitas asal Surabaya. Mereka adalah para penyandang tuna rungu Kiking, Omay, Jacky, Pina, dan penyandang down syndrome Mukidi.
Kelimanya berkarya melalui bidang fotografi hingga pernah mendapat penghargaan. DetikJatim pun berkesempatan untuk menilik kegiatan para penyandang disabilitas itu di Rumah Padat Karya Viaduct by Gubeng.
Terlihat kelimanya sedang serius belajar fotografi produk jasa dan makanan. Kelima penyandang disabilitas itu merupakan anak binaan UPTD Liponsos Kalijudan Surabaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala HRD Rumah Padat Karya Viaduct by Gubeng, Fredy mengaku, kemampuan mereka sangat tinggi di bidang fotografi.
"Secara keaktifan skill lebih detil dibanding yang lain," ujar Fredy kepada detikJatim, Minggu (19/6/2022).
![]() |
Layaknya tunarungu pada umumnya, kelima difabel itu saling berinteraksi dengan bahasa tubuh atau isyarat. Mereka tampak antusias melakukan foto jasa pemotongan rambut di sana.
Usai foto jasa potong rambut, kelimanya berpindah lokasi ke ruang sebelahnya. Di sana, mereka langsung memotret aneka jenis kuliner yang disuguhkan.
"Ini ada mac and cheese, nasi goreng kampung, nasi goreng seafood, dan pasta aglio olio. Mereka foto satu persatu, sesuai angle dan kebisaan masning-masing," kata pembina sekaligus inisiator Disabilitas Berkarya, Leo Gemati.
Leo menjelaskan, keahlian foto para difabel itu itu bermula dari keisengan mengenalkan mereka fotografi. Melihat bakat yang muncul, dirinya pun mendampingi mereka mempelajari fotografi di akhir 2016 silam bersama 4 rekannya.
Leo dan rekan-rekannya mengaku, mengajarkan para difabel merupakan tantangan tersendiri. Sebab, dia harus mengajarkan mereka lewat bahasa isyarat.
"Berangkat dari sama-sama tak mengerti bahasa isyarat, jadi ya sempat agak kesulitan," ujarnya.
Mendapat Penghargaan
Upaya Leo dan rekan-rekannya pun berbuah hasil. Kelima anak didiknya itu berhasil mengumpulkan karya fotografi dan membukukannya. Karya tersebut memperoleh penghargaan fotografi dari Pemkot dan UNICEF pada 2021 lalu.
"Buku itu berjudul 'Tutur Mata', terbit tepat di hari disabilitas internasional," tutur Leo.
Leo menyatakan, buku karya-karya fotografi tersebut bertema penggambaran jati diri kelima difabel itu. Seolah, mata mereka bisa berkomunikasi dan bisa menerima interaksi dari lawan bicaranya, layaknya orang normal.
Tema tersebut terinspirasi dari kondisi anak-anak berkebutuhan khusus di Liponsos Kalijudan Surabaya. Menurut Leo, sekitar 50an anak di sana tak mengenal jati diri masing-masing. Sebab, sebagian anak di sana memang tak mengetahui identitas orang tua atau keluarganya.
"Sebagian diberi nama baru saat di Liponsos Kalijudan," ujarnya.
Leo pun menceritakan kisah muridnya, Pina yang tengah memotret temannya Umay. Hasil foto itu dicetak dan Leo berikan pada 5 anak didiknya. Kemudian, berceloteh spontan.
"Dia (Umay) bilang 'Buat saya ya, kalau saya ketemu orang tua saya nanti, mau saya kasih'," katanya mengulangi permintaan Umay.
Spontan, air mata Leo pun langsung berlinang. Sebab, Umay masih belum mengetahui siapa orangtuanya.
"Sampai sekarang, saya selalu merinding kalau ingat itu," ujar dia.
(hse/fat)