Meski Berisiko, Warga Tetap Tinggal di Bekas Stasiun Jagalan Malang

Meski Berisiko, Warga Tetap Tinggal di Bekas Stasiun Jagalan Malang

Muhammad Aminudin - detikJatim
Minggu, 05 Jun 2022 04:04 WIB
Stasiun Jagalan Kota Malang
Permukiman warga di sekitar Stasiun Jagalan, Kota Malang (Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim)
Malang -

Setelah lama tak difungsikan, kawasan Stasiun Jagalan, Kota Malang dimanfaatkan warga untuk mendirikan rumah. Hal ini cukup berisiko, karena KA BBM milik Pertamina saban hari masih melintas di jalur rel yang jaraknya berdekatan.

Pantauan detikJatim di lokasi, berderet bangunan rumah penduduk dari ujung utara ke selatan. Bekas stasiun Jagalan hanya menyisakan bagian atap, ubin, serta tembok saja.

Bagian sisi barat sudah tertutup lapak dagangan warga. Sementara bagian timur yang berdekatan dengan jalur rel, berdiri bangunan rumah yang dihuni sejumlah kepala keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satunya, Yanto (59) yang mengaku hampir 10 tahun lebih menempati rumah yang didirikan di bekas stasiun Jagalan.

"Kebetulan saya ikut istri tinggal di sini. Awalnya mertua yang menyewa kepada petugas PJKA sekarang PT KAI itu," ucap Yanto ditemui depan rumahnya, Sabtu (4/6/2022).

ADVERTISEMENT

Yanto menyebut, setidaknya ada ratusan kepala keluarga tinggal di kawasan bekas Stasiun Jagalan. Mereka masuk lingkungan RT 09 hingga RT 12 RW 06, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Kota Malang.

"Sekitar 300 lebih KK tinggal di sini. Ada empat RT. Seperti saya, mereka juga sudah lama tinggal di sini," tuturnya.

Selain itu, Yanto menyebut, bangunan bekas stasiun Jagalan terbagi menjadi beberapa sekat yang dihuni sejumlah kepala keluarga. Khusus dirinya, hanya menempati petak ukuran 4x5 meter persegi untuk tempat tinggal.

"Bekas stasiunnya, sebagian rumah saya ini. Ada beberapa yang menempati dan difungsikan sebagai rumah. Punya saya sekitar 4x5 meter saja," ujarnya.

Awal mula tinggal, Yanto cukup terusik dengan lalu lalang KA BBM menuju Depo Pertamina yang berada kurang lebih 1,5 kilometer dari arah selatan. Jika dihitung, KA BBM melintas empat sampai lima kali dalam sehari.

"Kami tahu memang berisiko, karena lokasi rumah dengan jalur rel berdekatan. Makanya, tidak boleh dibangun area mainan anak-anak," katanya.

Sepengetahuan Yanto, tepat di depan rumahnya, dulu ada tiga lajur kereta api. Namun saat ini sudah tertutup dan dimanfaatkan sebagai lahan parkir dan pemukiman warga.

"Kapan lalu mau dibangun tembok sama PT KAI. Untuk memisahkan kampung di sisi timur dengan jalur rel. Tapi warga menolak, karena biasanya digunakan untuk kepentingan tertentu, seperti ketika ada orang sakit dan sebagainya," bebernya.

Hampir seluruh warga, kata Yanto, membangun rumah dengan seadanya. Karena mereka tahu, lahan yang ditempati merupakan milik PT KAI.

"Tidak ada pungutan. Dulu saja waktu zaman mertua diminta Rp 30 ribu setiap tahun. Sekarang tidak," tandasnya.




(hil/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads