Komnas Perempuan Sebut Pencetus Raperda Janda Sesat Pikir

Komnas Perempuan Sebut Pencetus Raperda Janda Sesat Pikir

Tim detikJatim - detikJatim
Selasa, 31 Mei 2022 12:46 WIB
Peraturan Daerah: Pengertian, Fungsi hingga Tujuannya
Ilustrasi raperda (Foto: detikcom/Ilustrator Andhika Akbarayansyah)
Surabaya -

Komnas Perempuan buka suara soal Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Janda yang diusulkan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Banyuwangi Basir Qodim. Mereka menyebut, pencetus raperda ini sesat pikir.

Sebelumnya, Qodim mengusulkan raperda ini dengan alasa untuk perlindungan dan pemberdayaan terhadap para janda. Usulan ini muncul karena dirinya prihatin dengan tingginya perceraian di Banyuwangi.

"Pertama adalah kalau ini diatur untuk perlindungan karena basisnya data, itu sih tidak ada hubungannya soal perceraian dengan Raperda Janda ini. Tapi intinya ada sesat pikir dari Pak Basir Qodim ya, anggota Dewan Banyuwangi," kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini saat dihubungi detikJatim, Selasa (31/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Rini-sapaan akrabnya- sesat pikir ini justru berpotensi mendiskreditkan janda atau perempuan kepala keluarga. Padahal, perempuan-perempuan ini berdaya.

"Sesat pikir ini berpotensi melecehkan ya. Kenapa begitu? Pertama adalah ada cara pandang melihat status janda sebagai status yang negatif dan ini terjadi di masyarakat kita. Sayangnya, ini juga ada di dalam stigma pembuat kebijakan, nah ini berbahaya sekali," ujarnya.

ADVERTISEMENT

"Karena janda, atau perempuan kepala keluarga, mereka adalah orang-orang yang karena stigma negatif dianggap tidak berdaya. Padahal mereka ini kuat lho. Banyak perempuan kepala keluarga ini menafkahi keluarganya tapi tidak diakui," Rini melanjutkan.

Tak hanya itu, Rini juga menilai di Indonesia memang sulit untuk memberi pengakuan jika para perempuan kepala keluarga ini adalah orang-orang hebat dan kuat.

"Ini sangat jauh ya karena satu, persoalan patriarki dalam masyarakat kita, dua, stigma yang begitu besar dan stigma ini menghasilkan diskriminasi. Padahal, mereka mampu menafkahi keluarganya, mampu membuat keputusan, mampu beraktivitas," tambahnya.

Sementara itu, Rini juga menyoroti soal alasan anggota dewan Banyuwangi yang ingin melindungi para janda. Menurutnya, jika ingin melindungi janda, hal pertama yang harus dilakukan yakni mengakui keberdayaan perempuan kepala keluarga.

"Ini para perempuan yang kalau pun mau dilindungi, ya mereka diakui kekuatannya. Jangan kemudian dianggap orang-orang karena banyak perceraian, kemudian diatur apa lagi masuk dalam poligami dan menjadi istri kedua. Itu sesat pikir banget," jelas Rini.

"Kesannya ini janda-janda, perempuan kepala keluarga tidak mampu berjuang bagi keluarganya. Perlindungan ini harus disediakan oleh negara pada konteks untuk mengubah cara pandang masyarakat yang sesat pikir, mengubah stigma, mengubah diskriminasi pada mereka yang berstatus perempuan kepala keluarga. Ini harus diakui dalam data peran perempuan kepala keluarga dalam pembangunan Indonesia," pungkasnya.

Rini juga sedikit menyinggung soal penyebutan janda yang telah menjadi stigma di tengah masyarakat. Menurutnya, diksi 'janda' secara umum bisa diubah menjadi perempuan kepala keluarga.




(hil/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads