Wisata Rowo Bayu Banyuwangi menjadi perbincangan hangat usai dikaitkan sebagai lokasi KKN di Desa Penari. Rupanya, kawasan Rowo Bayu merupakan aliran lava bekas letusan Gunung Raung pada masa lampau. Kawasan ini masih merupakan kawasan Geopark Ijen.
Ketua Geopark Ijen, Abdillah Baraas mengatakan, letusan Ijen purba sekitar 70 ribu tahun lalu menyisakan kaldera terbesar di Jawa yang berdiameter 16 km. Setelah letusan, muncul gunung-gunung baru di sebelah selatan kaldera ini.
"Kira-kira 50 ribu tahun yang lalu, muncul gunung api yang cukup besar yaitu Gunung Raung. Gunung ini adalah gunung terbesar dan paling gaduh saat ini. Beberapa kali tercatat letusannya sekitar abad 16 menghasilkan berbagai jenis batuan dan beberapa cerita menarik untuk kita pelajari," ujarnya kepada detikJatim, Sabtu (21/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gunung api kerucut yang cukup fenomenal ini memiliki kaldera berdiameter 2 km. Letusan yang tercatat pada masa sejarah dimulai pada tahun 1593 dan cukup menggegerkan dunia kala itu. Dalam letusan itu, lava mengalir hingga membentuk bebatuan. Salah satu wilayah yang unik dari gunung ini adalah lereng bagian timur, tepatnya di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi.
Tidak jauh dari petilasan, pengunjung bisa menemui produk letusan Gunung Raung yaitu batuan beku yang disebut lava. Lava ini berasal dari magma panas yang keluar dari dalam gunung, kemudian mengalir ke permukaan dan mendingin menjadi batu. Lava ini kira-kira terbentuk pada erupsi Raung pada tahun 1638.
Salah satu bagian lava yang berada pada lokasi ini mengalami breksiasi atau hancuran sehingga bagian-bagiannya menjadi hancur. Bagian yang hancur ini lah kemudian membentuk batu yang mirip dengan burung garuda lambang negara Indonesia.
"Ada beberapa bebatuan yang unik. Membentuk kepala burung garuda. Itu berada di sisi sebelah Utara Petilasan Prabu Tawangalun. Ini sebagai bukti lava yang mengalir imbas dari letusan Gunung Raung," tambahnya.
![]() |
Rowo Bayu Sebagai Lambang Kedamaian
Sementara itu, terbentuknya telaga Rowo Bayu karena adanya aliran mata air dari beberapa sumber yang ada di sekitar Royo Bayu. Air ini berasal dari daerah tangkapan air atau catchment area yang menandakan lingkungan di atas masih terjaga dengan baik.
Kondisi ini juga didukung adanya batuan yang lapuk di atas yang berfungsi sebagai resapan air yang kemudian mengalir hingga ke telaga ini.
"Telaga Rowo Bayu adalah lambang sebuah kedamaian yang hakiki ketika kita mengunjunginya. Air yang tak pernah surut sepanjang tahun. Pepohonan rindang yang menaunginya adalah bukti bahwa kondisi geologi di kawasan ini tetap terjaga dengan baik," tambahnya.
Dia atas telaga ini juga terdapat petilasan Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan, serta ada tiga mata air yang gemericik airnya mengiringi langkah kaki ketika menuju lokasi ini.
Ketiga mata air ini memiliki nama Sendang Keputren, Sendang Wigangga dan Sendang Kamulyan. Sendang Wigangga berbentuk seorang wanita membawa kendi dilengkapi dengan pancuran di kendinya, sedangkan Sendang Kamulyan posisinya berada di belakang petilasan. Ketiga mata air ini lah yang menjadi alasan paling mendasar Prabu Tawang Alun bertapa di tempat ini.
"Hal ini didukung oleh Orfeu Buxton, peneliti dari Live Science yang menuturkan bahwa suara gemericik air bisa memengaruhi pikiran seseorang agar tetap tenang, nyaman, dan tidak khawatir dengan keadaan. Selain itu, suhu udara di sekitar juga akan terasa mendukung suasana damai tersebut," tambahnya.
Selain itu, ada juga Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati roh para leluhur yang telah berjasa dalam mempertahankan tanah Blambangan saat Perang Puputan Bayu tahun 1771.
"Puputan Bayu adalah perang semesta bagi rakyat Banyuwangi atau disebut perang habis-habisan melawan kolonial Belanda (VOC). Hal ini terbukti akibat perang Bayu pada kerugian di pihak VOC dengan tercatat banyaknya yang gugur di medan perang dan peperangan melawan rakyat Blambangan diperkirakan menghabiskan dana senilai 8 ton emas yang merupakan pukulan terhadap keuangan Negara VOC. Dan dari penduduk belambangan telah menelan korban sekitar 60 ribu orang (Lekkerkerker, 1923: 1064)," katanya.
Sedangkan Macan Putih, kata Abdillah, merupakan lambang Kerajaan Blambangan. Macan Putih-lah yang menemui Prabu Tawang Alun usai bertapa di Bayu, yang kemudian memberi perintah untuk membangun sebuah istana yaitu istana Blambangan.
"Apabila dikaitkan dengan peristiwa geologi yang terjadi pada abad 16, macan putih ini adalah perumpamaan dari awan panas dari gunung raung yang erupsi pada tahun 1638 yang kemudian gugurannya berhenti di Kabat. Hal ini adalah sebuah pesan mitigasi bencana erupsi Gunung Raung saat itu yang letusannya mengeluarkan awan panas yang cukup dahsyat," pungkasnya.
(hil/dte)