Ada 5 perceraian di Ponorogo yang berujung pembongkaran rumah sejak awal 2020. Lantas, bagaimana pemerhati sosial melihat fenomena ini?
Dosen Tetap Program Pascasarjana INSURI Ponorogo, Dr Murdianto mengatakan, aksi pembongkaran rumah yang pertama menjadi perhatian dan dinilai sebagai salah satu bentuk penyelesaian masalah oleh masyarakat.
"Dianggap penyelesaian dengan cara pembongkaran rumah ini keren, hebat jadi rujukan netizen," tutur Murdianto kepada detikjatim, Kamis (17/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Murdianto menambahkan, saat ini masyarakat terutama pengguna media sosial, apapun yang viral terkadang menjadi acuan. Hingga pengambilan keputusan akibat perselingkuhan, penyelesaiannya dengan pembongkaran rumah.
"Jadi dalam kaidah medsos, modeling ini jadi acuan, tata kelola literasi digital maupun media dalam memberi kontrol perlu dicerahkan. Kalau kemudian dibiarkan, viral terus ditiru perlu diulang dan ditunggu netizen akhirnya dirobohkan saja," papar Murdianto.
Padahal, lanjut Murdianto, sebelum pembongkaran rumah sebaiknya ketahanan keluarga dijaga. Terutama soal keterbukaan dan komunikasi. Sekaligus keterlibatan tokoh agama yang dipercaya kedua belah pihak untuk memediasi.
"Ketahanan keluarga makin melemah karena tuntutan ekonomi. Saat salah satu pihak di luar negeri, ada kecenderungan komunikasi yang terbatas pada alat saja," terang Murdianto.
Sebab, lanjut Murdianto, saat salah satu pihak bekerja di luar negeri, pasangan ini sudah berpisah secara fisik. Saat timbul masalah penyelesaiannya pun hanya melalui alat komunikasi. Seharusnya penyelesaian dilakukan dengan cara bertemu kedua belah pihak bersama mediator.
"Sengketa seperti ini butuh orang, tokoh agama misalnya kiai yang dipercaya kedua belah pihak sebagai mediator dan konselor," pungkas Murdianto.
(sun/sun)