Savy Amira Terima 148 Aduan Kekerasan Perempuan, KDRT Naik 7 Persen

Savy Amira Terima 148 Aduan Kekerasan Perempuan, KDRT Naik 7 Persen

Hana Septiana - detikJatim
Kamis, 27 Jan 2022 10:46 WIB
Kekerasan Terhadap Perempuan-Anak Bisa Dilaporkan, Hubungi SAPA 129
Ilustrasi kekerasan seksual pada perempuan. Foto: Edi Wahyono/detikcom
Surabaya -

Sepanjang 2021, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Savy Amira Surabaya menerima 148 aduan kekerasan pada perempuan. Ratusan aduan ini tercatat sejak Januari hingga Desember 2021.

Hal ini diungkapkan saat Launching Catatan Tahunan (CATAHU) Savy Amira 2021 di kanal Zoom Selasa (25/1/2022). Dalam catatan Savy Amira, mayoritas pengaduan datang dari kasus baru.

Dari 148 aduan, rinciannya ada 133 kasus baru. Lalu ada 9 klien lama yang kasusnya masih berlanjut, dan 6 kasus klien lama yang datang kembali karena kasus baru yang dialami.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaduan kasus paling banyak dari Kota Surabaya yaitu 88 kasus, yang memang merupakan wilayah kerja Savy Amira. Namun, dalam praktiknya, Savy Amira juga menerima pengaduan dan mendampingi kasus dari luar Surabaya. Seperti Sidoarjo, DKI Jakarta, bahkan luar negeri yaitu Australia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya layanan online di masa pandemi.

Sekretaris Savy Amira Surabaya, Anik Mustika mengatakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi kasus tertinggi yang masuk pada 2021. Tercatat ada 85 kasus pengaduan soal KDRT.

ADVERTISEMENT

Tak hanya itu, KDRT didominasi kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 57 kasus. Apa bila dibandingkan dengan jumlah kasus KDRT-KTI di tahun 2020 yang berjumlah 43 kasus, angka kasus tahun ini mengalami peningkatan sekitar 7 persen.

"Naik dari 43 ke 57 kasus, jadi meningkat 7 persen," kata Anik melalui Zoom meeting, Selasa (25/1/2022).

Anik mengatakan, sekalipun merupakan kasus pidana, tidak semua kasus KTI dapat diselesaikan atau berlanjut melalui jalur hukum. Sebab, korban seringkali mengalami tekanan dari keluarga ketika meneruskan kasus ke ranah hukum.

Misalnya, tawaran untuk diselesaikan secara damai atau keyakinan bahwa pelaku akan berubah perilakunya.

"Seringkali korban merasa harus menyetujui tawaran penyelesaian dengan cara mediasi dan mencabut laporan, padahal itu tentu akan berisko, karena ada kemungkinan korban akan kembali mendapat kekerasan dari pelaku," papar Anik.




(hil/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads