Bawaslu Jawa Tengah (Jateng) mengungkapkan empat pelanggaran yang paling banyak dilaporkan masyarakat selama gelaran Pilkada Serentak 2024. Empat pelanggaran itu juga jadi pelanggaran yang sulit ditangani Bawaslu.
Hal ini diungkapkan Koordinator Divisi Humas, Data, dan Informasi Bawaslu Jateng, Sosiawan saat menghadiri acara 'Serap Aspirasi dalam rangka Pengawasan Pilkada Serentak di Jateng' yang digelar DPD RI Provinsi Jateng.
Ia mengatakan, 4 pelanggaran yang paling banyak ditemui selama Pilkada 2024 yakni penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), politik uang, serta pelanggaran di media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Abuse of power ini tidak mudah untuk ditelusuri dan dicarikan buktinya. Tapi fenomena itu banyak disuarakan oleh publik dan muncul di media-media sosial. Ketidaknetralan pejabat negara, pejabat daerah," kata Sosiawan di Kantor DPD RI Provinsi Jateng, Kelurahan Pendrikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah, Selasa (12/11/2024).
Ia mengatakan, penyalahgunaan kekuasaan menjadi pelanggaran yang sulit ditelusuri akibat lemahnya bukti-buktinya yang didapat. Terlebih, para pelapor biasanya tak menyertakan bukti pelanggaran.
"Kedua netralitas, netralitas ASN, TNI, Polri, Kades, tentu yang paling banyak disorot publik adalah netralitas kades, kemudian ASN. Terus terang itu menjadi isu penting," terangnya.
"Oleh karena itu menjadi usaha kami untuk senantiasa sosialisasi tentang pentingnya netralitas ASN dan Kades, itu tidak kurang-kurang lah. Apapun kami lakukan lewat berbagai cara, berbagai forum," sambungnya.
Pelanggaran ketiga yakni praktik politik uang yang dinilai paling sulit diberantas. Pasalnya, pengetahuan masyarakat terkait pelanggaran politik uang dirasa masih rendah dan belum ada efek jera bagi pelaku politik uang.
"Sepanjang masyarakat itu mendukung upaya kita memberantas politik uang, maka sesungguhnya itu bisa menjadi penggerak. Hal yang paling sulit itu justru masyarakatnya sendiri," jelasnya.
"Karena mata rantai terlemah dari terjadinya praktik politik uang itu ada di masyarakatnya sendiri. Kalau masyarakat anti politik uang, maka pertama kali yang akan menolak sumbernya pasti masyarakat sendiri," sambungnya.
Menurut Sosiawan, selama belum ada kesadaran dari pemilih, politik uang akan sulit dilawan. Apalagi praktik politik uang ini berkembang ke berbagai bentuk lain.
"Tugas kita bersama menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. Sepanjang pemilih belum menjadi pemilih yang cerdas, punya kesadaran politik, sudah pasti susah melawan politik uang. Apalagi itu merebak di segala bentuk, bukan hanya bentuk uang," tegasnya.
Sementara pelanggaran keempat yakni pelanggaran yang terjadi di media sosial. Sosiawan mengatakan, meski Bawaslu telah membentuk sejumlah lembaga pengawasan, masih belum bisa memberantas seluruh pelanggaran di media sosial.
"Kami juga sudah membentuk pasukan cyber, kita membentuk Pokja penanganan isu negatif, gugus tugas pengawasan, pemberitaan, media penyiaran, iklan kampanye," jelasnya.
"Tapi tetap tidak bisa menjangkau seluruh sisi dari media sosial. Mulai dari ujaran kebencian, politisasi SARA, black campaign. Pelanggaran di dunia mayanya itu yang kadang susah diatasi," sambungnya.
Ia pun berharap, mendekati Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng maupun Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Semarang, masyarakat bisa lebih cerdas dan lebih awas saat menemui pelanggaran-pelanggaran dalam Pilkada 2024.
(aku/ahr)