Dari Mie Ongklok hingga Ambeng Tieng, 3 Budaya Wonosobo Ini Jadi WBTb

Dari Mie Ongklok hingga Ambeng Tieng, 3 Budaya Wonosobo Ini Jadi WBTb

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJateng
Selasa, 28 Okt 2025 19:01 WIB
Penetapan tiga budaya asli Wonosobo, Mie Ongklok, Wayang Kedu Gagrag Wonosaban, dan tradisi Ambeng Desa Tieng, sebagai WBTb di Jakarta
Penetapan tiga budaya asli Wonosobo, Mie Ongklok, Wayang Kedu Gagrag Wonosaban, dan tradisi Ambeng Desa Tieng, sebagai WBTb di Jakarta. (Foto: Dok. Pemkab Wonosobo)
Wonosobo -

Sebanyak tiga budaya asal Wonosobo ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementerian Kebudayaan, yakni Mie Ongklok, Wayang Kedu Gagrag Wonosaban, dan tradisi Ambeng Desa Tieng. Lantas apa kekhasannya? Simak penjelasannya berikut.

Tiga budaya tersebut menjadi WBTb melalui proses sidang penetapan pada 5-11 Oktober 2025 di Kementerian Kebudayaan, Jakarta. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Wonosobo, Fahmi Hidayat, menjelaskan pengajuan tiga budaya tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Setiap tahun pun Pemkab Wonosobo mengajukan budaya untuk ditetapkan sebagai WBTb. Di luar tiga budaya tersebut, Fahmi menyebut Wonosobo telah memiliki enam budaya yang telah menjadi WBTb.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tahun ini kita kita memilih tiga itu karena keunikannya dan kesiapannya," jelas Fahmi saat dihubungi detikJateng, Selasa (28/10/2025).

ADVERTISEMENT


Mie Ongklok

Fahmi menjelaskan Mie Ongklok banyak bermunculan di Kecamatan Wonosobo, Kelurahan Jaraksari, sejak 1940-an. Mie Ongklok merupakan mi yang berkuah atau mi rebus.

Mie Ongklok dikenal memiliki kuah kental nan gurih yang disebut sebagai loh. Fahmi mengatakan, bahan utama kuah dari mi tersebut yakni tepung pati dan ebi.

"Orang-orang disini menyebutnya (kuah Mie Ongklok) loh. Kuahnya agak kental campuran tepung pati sama ebi," beber Fahmi.

Selain itu Mie Ongklok dilengkapi dengan sayur kocai dan kubis atau kol. Mi tersebut lantas dimasak dengan cara dikocok di air panas selama beberapa menit. Cara memasak tersebut lantas menjadi penamaan mi itu yang dalam bahasa Jawa onglok, jelas Fahmi, berarti dikocok.

"Ongklok itu kan dalam bahasa Jawa kan seperti diongklok-ongklok itu, dikocok-kocok," kata Fahmi.

Menyantap Mie Onglok belum lengkap jika tidak dinikmati dengan tempe kemul atau sate. Fahmi menerangkan dua hidangan tersebut biasa menyertai santapan Mie Onglok

"Perpaduannya itu Mie Ongklok sama tempe kemul, sama sate sapi," sebutnya.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo pun terus berupaya untuk melestarikan Mie Ongklok. Salah satunya yakni melalui festival.

"Sudah banyak (upaya pelestarian Mie Ongklok), mempromosikan lewat berbagai event, membuat berbagai festival Mie Ongklok. Terus kita pernah bikin showcase," sebutnya.

Terlebih Mie Ongklok kini tersedia dalam versi instan. Mie Ongklok instan itu, kata Fahmi, diproduksi oleh beberapa UMKM.

"Ada beberapa UKM yang sudah membuat versinya versi instan. Jadi bungkusnya kayak mi instan itu. Dia tinggal dibuka dimasukkan ke air panas itu sudah jadi," jelasnya.

Ambengan Desa Tieng

Selanjutnya, Fahmi megatakan tradisi Ambengan Desa Tieng merupakan budaya asli dari Desa Tieng. Budaya tersebut merupakan budaya klasik Wonosobo yang diperkirakan muncul pada abad ke-8 hingga 10 Masehi.

"Kalau menurut beberapa prasasti yang ditemukan kan (munculnya tradisi ambengan) abad ke-10, 9, dan 8," sebut Fahmi.

Catatan tersebut dituliskan pada peristiwa Sima, atau bebas pajak, di Pegunungan Dieng. Fahmi menjelaskan, tradisi makan bersama tersebut awalnya dilakukan sebagai akhir dari peresmian desa-desa kuno.

"Ada beberapa desa kuno di situ yang di yang diresmikan dengan Sima, kemudian diakhiri dengan prosesi makan bersama dalam arti skul paripurna. Makan bersama," jelasnya.

"Nah, kemudian setelah mengalami beberapa transformasi juga ketika Islam mulai berkembang di wilayah kaki Gunung Dieng. Hingga akhirnya beberapa unsur budaya lama di unsur budaya klasik itu dihilangkan dan diganti dengan yang sekarang ini ada di ambengnya itu," lanjutnya.

Kini tradisi ambengan di Desa Tieng dilakukan pada hari-hari besar Islam, seperti Ramadan. Khusus pada Ramadan, prosesi ambengan dilakukan satu bulan penuh.

"Jadi sebelum bulan Ramadan itu, satu bulan satu bulan full itu dimulai dari semaan Al-Quran dulu, kemudian diakhiri dengan khataman Al-Quran. Nah, itu nanti langsung digelar tradisi ambengan besar-besaran di situ," jelasnya.

Meski terdapat transformasi, Fahmi menyebut, menu yang dihadirkan dalam tradisi ambengan tetap sama sejak dulu. Adapun menunya yakni mulai dari nasi hingga serundeng.

"Yang paling utama itu nasi, ada sayur lombok khas Dieng, tumisan buncis, mi kuning, aneka macam baceman baik itu protein hewani maupun nabati, kemudian yang terakhir itu ada serundeng," sebutnya.

"Nah, serundeng ini paling atas sendiri. Semua ada nilai filosofinya, termasuk konfigurasi kenapa harus di bawah, di tengah, di atas," imbuhnya.

Lebih lanjut, Fahmi menyebut tradisi ambengan di Desa Tieng memantik kesadaran pelestarian lingkungan dan ketahanan pangan. Bahkan, doa-doa yang dirapal dalam gelaran ambengan merupakan doa ruwat bumi.

"Bahkan doa-doanya kan juga sebenarnya doa-doa ruwat bumi. Tapi doa-doa ruwat bumi kemudian karena mengalami transformasi budaya, akhirnya di-mix dengan doa-doa Islami," paparnya.

Adapun tradisi ambengan, kata Fahmi, dilakukan secara komunal, bukan personal. Adapun ambengan, lanjutnya, berarti tempat hidangan, dan ngambeng adalah prosesnya.

Untuk melestarikan tradisi tersebut, Pemkab Wonosobo, biasanya menyuguhi tamu dengan menu yang biasa dihidangkan dalam Ambengan Desa Tieng.

"Yang pertama (untuk melestarikan Ambengan Desa Tieng) dibantu publikasinya dulu. Ada tamu di sana suguhannya adalah ambengan, baik tamu pemda, desa, maupun kenegaraan," jelasnya.

Wayang Kedu Gagrag Wonosaban

Wonosobo memiliki wayang khas, yakni Wayang Kedu Gagrag Wonosaban. Fahmi menjelaskan wayang tersebut lahir dari Wayang Kedu yang merupakan cikal bakal dari wayang di Solo dan Jogja.

"Asal-usul wayang Jogja dan Solo itu dari Wayang Kedu dulu. Nah, dari Wayang Kedu ini melahirkan Wayang Kedu Menoreh itu yang diwarisi Magelang sama Temanggung. Kemudian Wayang Kedu Bagelen itu yang diwarisi Purworejo," jelasnya

"Kemudian yang terakhir Wayang Kedu Wonosaban, Gagrak Wonosaban. Ini yang sampai sekarang masih lestari di Wonosobo," lanjutnya.

Wayang Kedu Gagrag Wonosaban telah diwariskan selama sembilan turunan. "Kalau sekarang itu dalang generasi kesembilan," sebut Fahmi.

Adapun lakon yang paling muncul dari wayang tersebut, kata Fahmi, adalah Berjongganom. Lakon tersebut mengisahkan tentang pernikahan.

"Paling ketara adalah lakonnya Berjongganom. Berjongganom itu terkait dengan siklus kehidupan dan pernikahan," sebutnya.

Selain itu, para dalang menghadirkan tokoh lokal dalam pewayangan itu, seperti Sri Sadono dan Gatotkaca Jebor.

"Jadi ada ada inovasi dari dalang-dalang Wonosobo itu menghadirkan tokoh lokal, seperti lakon Sri Sadono itu terkait dengan ruwatan bumi. Kemudian ada Gatotkaca Jebor, itu terkait dengan kelahiran," ungkap Fahmi.

Wayang tersebut memiliki tiga instrumen gamelan. Selain itu, tata panggung Wayang Kedu Gagrag Wonosaban memiliki tata panggung dan sulukan yang khas.

"Instrumentalnya Wayang Kedung Wonosaban itu punya a tiga pengaturan gamelan patet. Ada patot enam, patot songo, patot manyuro. Itu ciri khasnya di situ," sebut Fahmi.

"Pakelirannya itu kan dia pakai kayu, kalau kita pakai bambu. Kalau di Wonosaban itu ada suluk yang nuansa sedih. Namanya suluk tlutur," imbuhnya.

Untuk merawat budaya tersebut, Pemkab Wonosobo pun biasa mementaskan wayang tersebut di acara seremonial. Biasanya Wayang Kedu Gagrag Wonosaban dipentaskan saat acara ruwatan.

"Dua tahun yang lalu untuk peringatan hari jadi pernah. Kemudian beberapa tahun yang lalu juga untuk acara-acara seremonial di Pemkab Wonosobo itu itu juga digelar," pungkasnya.




(aap/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads