Peternak ayam mandiri di Pati mengeluhkan harga bibit ayam (Day Old Chick atau DOC) hingga pakan yang melambung tinggi. Peternak minta pemerintah turun tangan untuk menjamin kelangsungan hidup seluruh peternak.
"Harga DOC, pakan, dan obat-obatan melambung tinggi, disuplai oleh entitas yang sama yang juga menjadi pesaing utama peternak rakyat," kata salah satu peternak di Pati, Barry dalam keterangan kepada wartawan, Kamis (23/10/2025).
Dia mengatakan bibit ayam mengalami kelangkaan saat harga ayam hidup di pasaran melonjak tinggi di atas Harga Acuan Penjualan (HAP) pemerintah. Namun bagi peternak mandiri seperti dirinya justru kesulitan mendapatkan DOC dan harga yang jauh melebihi HAP pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harganya itu di atas Rp 8.000 per ekor bahkan menyentuh Rp 9.000 ekor di pasaran," kata Barry.
Lebih lanjut, pasokan diarahkan untuk kandang milik korporasi integrator sendiri atau mitra terdekat. Akibatnya, peternak mandiri kosong berkepanjangan karena susah mendapat DOC.
"Peternak mandiri tidak bisa panen di masa kejayaan harga dan kandang peternak sementara integrator meraup untung besar," ungkap dia.
Di sisi lain, kata dia, ketika peternak berhasil memelihara, mereka harus menghadapi biaya sapronak (sarana produksi peternakan) yang sudah mencekik. Tak jarang, harga jual ayam hidup jatuh di bawah Harga Pokok Produksi (HPP), sehingga memaksa peternak menanggung kerugian.
"Situasi ini bukan sekadar ketidakstabilan pasar, melainkan gejala dari apa yang oleh banyak pihak dituding sebagai struktur pasar oligopolistik yang dimotori oleh segelintir perusahaan integrator," terang dia.
"Kegagalan regulasi Pemerintah yang paling menyakitkan bagi peternak adalah kesan ketidakmampuan atau ketidakberanian pemerintah dalam mengendalikan situasi ini. Regulasi yang ada, seperti yang mengatur pemisahan usaha budidaya atau pembatasan kuota, terasa tumpul di lapangan," dia melanjutkan.
Menurutnya kebijakan yang seharusnya membatasi integrator masuk ke budidaya tampaknya mudah dicari celah. Integrator tetap menjadi pemain dominan di budidaya melalui skema kemitraan yang sering kali merugikan peternak plasma.
"Pemerintah seolah tak berdaya menghadapi fluktuasi harga Sapronak yang didominasi dan gagal memastikan HPP peternak mandiri tertutup. Kehadiran negara sebagai stabilisator dan penjamin keadilan ekonomi praktis tidak terasa," ujarnya.
Menurutnya jika dibiarkan, kepunahan peternak rakyat seperti dirinya bukan hanya masalah sosial, tetapi ancaman serius bagi ketahanan pangan. Hilangnya peternak mandiri berarti seluruh pasokan daging ayam akan berada di tangan segelintir korporasi.
"Ini akan meningkatkan kerentanan terhadap gejolak harga dan menciptakan ketergantungan total. Pemerintah harus segera sadar bahwa fungsi regulasi adalah menciptakan iklim usaha yang adil, bukan membiarkan mekanisme pasar bergerak liar dan membunuh pemain kecil," jelasnya.
Oleh karena itu, Barry meminta kepada pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap struktur pasar perunggasan dan terapkan sanksi tegas jika ditemukan praktik monopoli atau oligopoli yang merugikan peternak rakyat.
"Unjuk badan independen untuk mengawasi dan menetapkan harga acuan DOC dan pakan yang adil," jelasnya.
Barry juga meminta pemerintah menerapkan aturan yang secara ketat dan nyata melarang atau membatasi integrator untuk masuk ke sektor budidaya.
"Serahkan sektor ini sepenuhnya kepada peternak rakyat dan koperasi. Jika tidak ada intervensi yang berani dan fundamental, maka peternak rakyat hanya akan tinggal nama, dan sejarah akan mencatat bahwa negara pernah membiarkan industri vitalnya jatuh ke dalam cengkeraman korporasi, mengorbankan ribuan rakyatnya sendiri," pungkas Barry.
(aku/apu)