YLBH Tegal Sebut Putusan DKPP Ungkap Fakta Pembagian Uang dalam Pemilu

YLBH Tegal Sebut Putusan DKPP Ungkap Fakta Pembagian Uang dalam Pemilu

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 29 Jan 2025 09:47 WIB
Ilustrasi pemilu
Ilustrasi. (Foto: Getty Images/Abudzaky Suryana)
Solo -

Pemilu 2024 menjadi sorotan bukan hanya karena hasilnya, tetapi juga karena berbagai pelanggaran yang mencoreng integritas proses demokrasi. Salah satu kasus paling mencolok adalah penggelembungan suara yang terjadi di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Praktik ini tidak hanya melibatkan penyelenggara Pemilu tetapi juga seorang anggota DPR, Shintya Sandra Kusuma, yang kini terancam lengser dari kursinya.

Dalam amar putusannya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyebut adanya praktik bagi-bagi uang sebagai bagian dari upaya menggelembungkan suara untuk Shintya, caleg PDIP dari Dapil IX Jawa Tengah. "Amar putusan DKPP jelas menyebut adanya pembagian uang. Ini bukan rumor, tetapi fakta hukum," ungkap Agus Winarko, Ketua YLBH Garuda Kencana Indonesia Cabang Tegal.

DKPP telah mengambil langkah tegas dengan menjatuhkan sanksi berat kepada para penyelenggara Pemilu di Brebes. Ketua KPU Brebes, Manja Lestari Damanik, dan Ketua Bawaslu Brebes, Trio Pahlevi, dicopot dari jabatannya karena dinilai melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Sementara itu, tiga anggota KPU dan empat anggota Bawaslu lainnya mendapat peringatan keras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Praktik bagi-bagi uang yang melibatkan lembaga resmi seperti KPU dan Bawaslu ini semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu. Kasus ini menunjukkan lemahnya integritas dan profesionalisme lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dalam proses Pemilu.

Kasus penggelembungan suara ini tidak hanya merusak citra individu atau lembaga, tetapi juga berpotensi merusak legitimasi demokrasi di Indonesia. Pengamat politik Ray Rangkuti menilai bahwa tindakan curang seperti ini dapat menciptakan krisis kepercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat.

ADVERTISEMENT

"Ketika hasil Pemilu dicapai dengan cara yang tidak sah, maka legitimasi wakil rakyat di mata publik menjadi hancur. Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi," ujar Ray. Ia juga mendesak partai politik, khususnya PDIP, untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap kadernya yang terlibat dalam kasus ini.

Praktik penggelembungan suara ini juga tergolong tindak pidana Pemilu berdasarkan Pasal 532 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain merusak integritas Pemilu, praktik ini menjadi bukti nyata bahwa masih ada celah besar dalam pengawasan proses demokrasi di Indonesia.

DKPP, dalam keputusannya, telah menunjukkan bahwa mereka serius dalam menindak pelanggaran. Namun, penyelesaian masalah ini tidak cukup berhenti pada pemberian sanksi. Penegakan hukum yang menyeluruh, termasuk penyelidikan lebih dalam oleh aparat penegak hukum, diperlukan untuk memastikan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.

Harapan untuk Pemilu yang Lebih Bersih

Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi penyelenggara dan peserta Pemilu. Proses demokrasi yang adil dan bersih hanya dapat tercapai jika semua pihak mematuhi aturan dan menjunjung tinggi integritas. Skandal ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan Pemilu, sekaligus meningkatkan transparansi dalam setiap tahapannya.

Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi juga perlu lebih kritis dan aktif dalam mengawasi jalannya Pemilu. Dengan langkah-langkah konkret dan kolaborasi berbagai pihak, kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia dapat dipulihkan, dan Pemilu mendatang dapat berlangsung lebih baik.




(aku/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads