Mengenal Bonokeling, Komunitas Adat di Banyumas Keturunan Kerajaan Pajajaran

Mengenal Bonokeling, Komunitas Adat di Banyumas Keturunan Kerajaan Pajajaran

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Selasa, 09 Sep 2025 14:35 WIB
Mengenal Bonokeling, Komunitas Adat di Banyumas Keturunan Kerajaan Pajajaran
Tradisi unggahan yang dilakukan komunitas adat Bonokeling Banyumas. (Foto: Giri Wijayanto/Wikimedia Commons/CC BY-SA 4.0)
Banyumas -

Indonesia memiliki banyak komunitas adat yang masih menjaga tradisi leluhur. Setiap komunitas memiliki cara tersendiri dalam mempertahankan identitas budaya di tengah perkembangan zaman. Salah satunya adalah komunitas adat Bonokeling di Banyumas, Jawa Tengah.

Komunitas Bonokeling dikenal sebagai penganut Islam Kejawen yang diwariskan dari sosok leluhur bernama Eyang Bonokeling. Mereka hidup dalam ikatan kekerabatan yang kuat dan melestarikan tradisi turun-temurun. Keberadaan mereka tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga memperkaya keragaman budaya lokal.

Penasaran dengan komunitas adat Bonokeling dan ingin mengetahui lebih dalam? Yuk, simak penjelasan berikut ini yang dihimpun dari buku Sistem Religi Komunitas Adat Bonokeling tulisan Bambang H Suta Purwana dkk serta artikel Kearifan Lokal pada Komunitas Adat Kejawen Bonokeling karya Arnis Rachmadhani berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Intinya adalah:

  • Komunitas Bonokeling di Banyumas adalah penganut Islam Kejawen berpusat pada ajaran Eyang Bonokeling.
  • Tradisinya meliputi Unggahan, Turunan, Sedekah Bumi, hingga upacara kematian yang khas.
  • Masyarakat adat Bonokeling di Pekuncen menjaga kesakralan tradisi dengan menolak jadi desa wisata dan status penghayat kepercayaan.

ADVERTISEMENT

Apa Itu Komunitas Adat Bonokeling di Banyumas?

Para pewaris anak putu Bonokeling dalam ritual Unggah-unggahan di desa Pekuncen, jatilawang, banyumas.Para pewaris anak putu Bonokeling Banyumas. (Foto: ekosaint/Flickr/CC BY 2.0)

Komunitas Adat Bonokeling di Banyumas adalah sebuah komunitas adat yang berpusat di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Mereka memiliki kesadaran kolektif sebagai keturunan Eyang Bonokeling yang dianggap sebagai leluhur sekaligus penyebar ajaran kejawen bernuansa Islam sinkretis. Identitas genealogis ini menjadi dasar ikatan sosial dan religius di antara anggotanya.

Komunitas Bonokeling menjadikan adat sebagai sendi utama kehidupan sosial. Mereka memiliki wilayah adat yang dianggap sakral dan dijaga secara turun-temurun. Ritual keagamaan atau perlon menjadi bagian penting dalam menjaga ketaatan dan solidaritas antarwarga. Tradisi seperti unggahan dan udunan menjadi sarana untuk memperkuat hubungan sosial, gotong royong, dan penghormatan kepada leluhur.

Dalam sistem kepercayaannya, Eyang Bonokeling dipandang sebagai perantara doa anak putu kepada Gusti Allah. Ajaran dan ritualnya dijaga dengan sifat kerahasiaan (keleman) agar tetap sakral. Hingga kini, komunitas Bonokeling memilih mempertahankan tradisinya dan menolak intervensi luar, meski jumlah pengikutnya perlahan menurun seiring bertambahnya warga yang beralih ke Islam santri.

Sejarah Komunitas Adat Bonokeling

Komunitas adat Bonokeling di Desa Pekuncen Banyumas merupakan bagian dari persebaran Islam Aboge yang sudah berkembang sejak abad ke-15 hingga 16. Di Banyumas sendiri, titik penyebarannya ada di Cikawong, Cikakak, dan Pekuncen. Perkiraan umur tradisi ini dihitung dari juru kunci yang menjabat seumur hidup, yang menunjukkan bahwa ajaran Bonokeling sudah diwariskan turun-temurun selama lebih dari tiga abad.

Menurut salah satu kisah, Kyai Bonokeling adalah putra bangsawan Kadipaten Pasir Luhur di bawah Kerajaan Pajajaran. Ia meninggalkan kadipaten karena berselisih dengan ayahnya, Adipati Banyak Blanak, lalu menetap di Pekuncen. Di sana ia membuka lahan pertanian sekaligus mengajarkan cara bercocok tanam dan beternak. Bonokeling juga dikenal sebagai murid Ki Kajoran dari Mataram, meski kemudian pengaruh Bonokeling justru lebih luas dan menyebar hingga ke Cilacap.

Ajaran Bonokeling memadukan Islam dan tradisi Jawa. Para pengikutnya meyakini rukun iman secara penuh, tetapi hanya melaksanakan sebagian rukun Islam yaitu syahadat, puasa, dan zakat, tanpa menjalankan sholat lima waktu. Tradisi sinkretis ini tetap dijaga ketat dalam sistem kekerabatan, sehingga sekitar 90 persen masyarakat Desa Pekuncen masih memegang Islam Kejawen ala Bonokeling.

Seiring perjalanan waktu, komunitas Bonokeling menghadapi banyak tantangan. Pada 1965 mereka terpaksa berlindung di makam keramat Bonokeling untuk menghindari ancaman. Di masa Orde Baru, mereka menjalin kerja sama politik agar bisa kembali hidup tenang dan menjalankan ritual.

Hingga kini, komunitas Bonokeling tetap konsisten menjaga jati dirinya. Mereka menolak usulan menjadikan Desa Pekuncen sebagai wisata religi karena khawatir kesakralan tradisi akan terganggu. Mereka juga memilih tidak bergabung dengan organisasi penghayat kepercayaan agar tetap berada dalam payung Islam. Meskipun praktik ibadah mereka sering disebut Islam Kejawen, komunitas ini meyakini dengan cara itu mereka bisa menjaga tradisi sekaligus tetap diakui secara resmi oleh negara.

Sederet Tradisi Komunitas Adat Bonokeling

Perlon Unggahan merupakan tradisi yang dilakukan sepekan sebelum Lebaran oleh masyarakat Bonokeling di Desa Pekuncen, Banyumas.Perlon unggahan, tradisi masyarakat Bonokeling di Desa Pekuncen, Banyumas. (Foto: Irhanz/Wikimedia Commons/CC BY-SA 4.0)

Komunitas adat Bonokeling di Desa Pekuncen, Banyumas, memiliki berbagai tradisi berupa upacara adat yang masih lestari hingga kini. Setiap ritual yang dijalankan sarat makna, baik sebagai wujud penghormatan leluhur maupun ungkapan syukur kepada Tuhan. Inilah sederet tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan mereka.

1. Upacara Unggahan (Perlon Unggahan)

Upacara Unggahan atau Perlon Unggahan adalah tradisi terbesar komunitas Bonokeling yang digelar untuk menyambut bulan Ramadhan. Upacara ini dilaksanakan setiap Jumat terakhir di bulan Sadran, menjelang puasa.

Ribuan keturunan Bonokeling dari Banyumas dan Cilacap datang berbondong-bondong, sebagian besar berjalan kaki sambil membawa hasil bumi sebagai bekal. Setibanya di Desa Pekuncen, mereka disambut pemuda setempat sebelum bersama-sama menuju makam Eyang Bonokeling.

Prosesi utama berlangsung di kompleks makam. Peserta diwajibkan bersuci di pesucen, lalu sowan dengan pakaian adat untuk berdoa. Setelah itu, mereka mengikuti ritual mbabar di Bale Mangu yang dipimpin Kyai Kunci, kemudian diakhiri doa bersama dan makan dengan wadah alami seperti daun pisang.

2. Perlon Turunan (Udhunan)

Jika Perlon Unggahan dilaksanakan untuk menyambut Ramadhan, Perlon Turunan atau Udhunan adalah tradisi yang dilaksanakan pada bulan Syawal, tepatnya Jumat kedua. Upacara adat ini bertujuan sebagai ungkapan syukur setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan.

Kata "turunan" bermakna panen pahala, yakni hasil dari ibadah selama bulan suci, sekaligus syukur atas datangnya musim panen padi. Rangkaian acaranya meliputi serah-serahan dari rombongan tamu, kerja bakti membersihkan makam, hingga ritual ziarah ke pusara Eyang Bonokeling.

Nilai utama Perlon Turunan tampak dari kebersamaan dan kerukunan. Komunitas Bonokeling dan masyarakat Pekuncen bergotong royong membersihkan lingkungan, kemudian berkumpul di rumah Kyai Kunci untuk bersalam-salaman, saling meminta maaf, dan menguatkan ikatan sosial. Puncaknya adalah selametan dengan doa bersama yang dipimpin Kyai Kunci, lalu dilanjutkan dengan makan tumpeng di Bale Malang.

3. Upacara Sedekah Bumi

Sedekah Bumi merupakan tradisi tahunan seluruh warga Desa Pekuncen, tidak hanya komunitas Bonokeling. Upacara ini bertujuan untuk bersyukur atas hasil pertanian sekaligus memohon keselamatan. Pelaksanaannya selalu jatuh pada bulan Apit atau Dzulqaidah, biasanya pada hari Selasa Kliwon. Lokasi utamanya berada di halaman rumah Kepala Desa, yang mampu menampung seluruh warga.

Ciri khas ritual ini adalah adanya sesaji kepala kambing jantan yang dikubur di persimpangan jalan sebagai simbol tolak bala. Masyarakat juga membawa makanan dalam ancak atau tenong, yang kemudian disantap bersama setelah doa. Ada pula tradisi unik saling melempar makanan yang justru menambah keceriaan. Pada malam harinya, rangkaian ditutup dengan pentas wayang kulit semalam suntuk sebagai hiburan komunal.

4. Perlon Sela-Sela

Perlon Sela-Sela adalah syukuran pribadi keluarga dalam komunitas Bonokeling. Tidak ada waktu khusus, sebab acara ini digelar sesuai hajat, misalnya ketika seorang anak berhasil menyelesaikan pendidikan atau memperoleh pekerjaan. Namun, ada aturan adat yang harus ditaati, yakni tidak boleh dilaksanakan pada hari "geblag" atau hari wafat ayah dari kepala keluarga yang bersangkutan.

Meski bersifat pribadi, tradisi ini mencerminkan kuatnya semangat gotong royong. Para tetangga datang membantu tanpa diminta, baik menyiapkan hidangan maupun keperluan acara. Inti ritual adalah kenduri doa bersama, diawali prosesi mbabar oleh sesepuh yang menjelaskan maksud hajat keluarga. Doa dipanjatkan dalam bahasa Arab dan Jawa, kemudian ditutup dengan makan bersama.

5. Upacara Kematian

Komunitas Bonokeling memiliki tata cara kematian yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Jenazah dibungkus kain lawon dari kapas, bukan mori, karena diyakini mudah hancur dan cepat menyatu dengan tanah. Jika almarhum tinggal di timur Masjid Al Islah, jenazah harus disemayamkan di rumah Kyai Kunci sebelum dikebumikan. Namun, bila berada di barat masjid, jenazah dapat langsung diberangkatkan dari rumah duka menuju pemakaman.

Rangkaian selamatan setelah pemakaman juga memiliki makna filosofis. Setiap tahap memperingati proses jasad yang melebur ke tanah, mulai dari penyempurnaan bulu dan kuku di hari ketiga, hingga sumsum tulang pada hari ke-1.000 (nyewu). Pada selamatan nyewu, jasad diyakini telah sepenuhnya kembali ke tanah, sementara roh kembali kepada Tuhan.

Demikianlah tadi penjelasan mengenai komunitas adat Bonokeling yang berada di Desa Pekuncen, Banyumas. Semoga dapat memberikan wawasan baru, detikers!




(sto/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads