Unggah-ungguh basa Jawa adalah aturan sosialisasi khas masyarakat Jawa. Dikutip dari tulisan Pendidikan Karakter Hormat Dalam Buku Pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah karya Suwarna dan Suharti, unggah-ungguh mengacu pada tata krama.
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Karakter ini menjelaskan, unggah-ungguh dibagi menjadi cara berbahasa dan bersikap. Unggah-ungguh menjadi landasan pembentukan karakter saat berhadapan dengan orang lain.
Contoh dan Mengenal Unggah-ungguh Basa Jawa
Pemakaian kata ganti dan kerja dalam bahasa Jawa dibagi menjadi basa ngoko dan krama. Berikut penjelasan dan contohnya
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Basa Ngoko Lugu
Basa Ngoko menjadi bahasa paling yang digunakan sesama teman akrab, orang tua atau guru kepada anak, atasan kepada bawahan, dan berbicara di dalam hati. Contoh kalimat ngoko lugu yang sering digunakan adalah:
- Aku lagi mangan bakso (Aku sedang makan bakso).
- Dek, lampune patenono! (Dik, matikan lampunya!)
- Tulung ketikno surat iki mas! (Minta tolong untuk mengetikkan surat ini mas!)
- Awakmu dek ingi mulih jam piro? (Kamu kemarin pulang jam berapa).
- Kowe wes budal ket kapan? (Kamu sudah berangkat sejak kapan).
2. Basa Ngoko Alus
Ngoko Alus adalah campuran dari basa ngoko dan krama alus. Ater-ater (awalan) dan akhiran (panambang) yang digunakan umumnya menggunakan basa ngoko serta mengganti kata kerja (tembung kriya), kata ganti (tembung sesulih), dan kata benda (tembung aran) dengan basa krama inggil.
Biasanya bahasa Jawa ini ditujukan untuk orang tua kepada orang yang lebih muda yang perlu dihormati, menghormati orang yang dibicarakan (orang ketiga), dan dari orang muda ke orang yang lebih tua. Adapun contoh kalimatnya sebagai berikut:
- Mas Hendi lagi sare (Mas Hendi sedang tidur).
Kata kerja ngoko turu diganti dengan sare agar terdengar lebih sopan.
- Daleme Pak Camat adoh banget (Rumah Pak Camat jauh sekali).
Kata benda omah diganti menjadi dalem, sementara itu akhiran atau panambang adoh banget tetap menggunakan basa ngoko.
- Bukune diasta Mbak Rara (Bukunya dibawa Mbak Rara).
Kata benda bukune memakai basa ngoko dan kata kerja digowo diganti menjadi diasta.
- Sampean wes maem nduk? (Kamu sudah makan nak?)
Kata ganti kowe diganti sampean dan kata kerja mangan diganti maem.
- Adek opo wes kondur? (Adik apa sudah pulang?)
Kata kerja muleh diganti dengan kondur sehingga terdengar lebih halus.
3. Basa Krama Lugu
Krama lugu adalah bahasa krama yang tidak tercampur dengan krama inggil. Tingkat kehalusan berada di paling rendah namun berada di atas ngko alus, dengan awalan (ater-ater) dan akhiran (panambang) berbahasa Krama.
Basa ini biasanya digunakan untuk orang yang baru berkenalan, bawahan kepada atasan, orang tua kepada orang muda dengan pangkat lebih tinggi, dan membahasakan diri sendiri. Contohnya:
- Bu Dewi nembe sakit (Bu Dewi habis sakit).
- Pak Warno sampun tilem (Pak Warno sudah tidur).
- Meniko panjenengan nopo bade wangsul sakniki? (Apakah kamu akan pulang sekarang?)
- Tito masuk angin merga aduse kewengen (Tito masuk angin karena mandinya terlalu malam).
- Kulo lan Ibu ajeng ngoijolake bathike Bapak (Saya dan Ibu akan menukarkan bajunya Bapak).
4. Basa Krama Alus
Biasa disebut juga dengan basa Krama Inggil, bahasa ini adalah yang paling baik untuk menghormati lawan bicara. Selain pemilihan kata, gestur dan ekspresi wajah juga digunakan penuh hormat selama menggunakannya.
ahasa krama alus digunakan untuk teman yang belum akrab, bawahan ke atasan, murid kepada guru, dan orang muda kepada orang yang lebih tua dan berpangkat. Adapun contoh kalimatnya sebagai berikut:
- Simbah ngendikan badhe tumut tindak Solo (Simbah berkata hendak ikut pergi ke Solo).
- Kula boten kemutan menawi dinten menika kedah numbasaken rasukan kagem Bapak (Saya tidak ingat apabila hari ini harus membelikan baju untuk Bapak).
- Mbak, panjenengen kala wau dipadosi bapak (Mbak, kamu tadi dicari Bapak).
- Pak Guru mboten saget rawuh amargi gerah (Pak Guru tidak bisa hadir karena sakit).
- Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa dalemipun Bu Lurah punika wonten pundi nggeh? (Permisi, saya mau tanya rumahnya Bu Lurah dimana ya?).
Tata Krama Pada Unggah-ungguh Jawa
Bahasa memang masalah penting, akan tetapi tata krama selama berinteraksi dengan orang lain juga tak kalah penting. Budaya Jawa melarang keras percakapan yang dilakukan dengan makan, melewati orang yang lebih tua tanpa menundukkan badan, hingga mengatur keras cara berpakaian.
Sudiatmanto dalam Peningkatan Prestasi Belajar Bahasa Jawa Materi Unggah Ungguh Basa dengan Menerapkan Pembelajaran Kontekstual pada Siswa Kelas VII-E di SMP Negeri 1 Pogalan Trenggalek Semester II Tahun 2012/2013 menjelaskan, belajar dan menerapkan unggah ungguh basa Jawa akan meningkatkan kelestarian budaya nasional.
Tulisan dalam Jurnal Pendidikan Profesional tersebut menerangkan, pengenalan jati diri dan rasa menghargai lingkungan sekitar juga akan tumbuh seiring pelafalannya setiap hari.
(row/row)