Kirab Grebeg Suro Girikesumo Sarat Filosofi untuk Sambut Tahun Baru Islam

Kirab Grebeg Suro Girikesumo Sarat Filosofi untuk Sambut Tahun Baru Islam

Mochamad Saifudin - detikJateng
Selasa, 18 Jul 2023 20:14 WIB
Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023).
Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng
Demak -

Keluarga Pesantren Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, menyelenggarakan kirab grebeg suro. Kirab disaksikan masyarakat setempat dan ditutup dengan perebutan gunungan hasil bumi.

Keluarga besar dari Yayasan Kyai Ageng Giri Pesantren Girikesumo melakukan kirab dari Masjid Jamik Baitul Salam ke Masjid Baitul Mustofa Makam Kasepuhan Girikesumo yang berjarak sekitar 500 meter. Mereka membawa sejumlah ubo rampe. Yaitu 4 kotak peti berisi jubah peninggalan leluhur, 40 kendi berisi air dari sumur, dan 4 gunungan.

Anggota keluarga Pesantren Girikesumo, M Hanif Maimun mengatakan bahwa pusaka tertua diperkirakan peninggalan tahun 1828. Yakni peninggalan KH Muhammad Hadi. Sementara 3 jubah lainnya milik KH Muhammad Zahid, KH Zaenuri, dan KH Muhammad Zuhri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gus Hanif, sapaannya, menjelaskan bahwa tujuan acara tersebut guna melestarikan budaya leluhur yang pertama kali berjuang di wilayah tersebut. Selain itu juga bentuk syukur dan sedekah.

"Yang ketiga kegiatan ini memang mapak warso enggal atau menyambut Tahun Baru Hijriah 1 Muharram," kata Gus Hanif usai acara di Halaman Masjid Jamik Baitul Salam, Selasa (18/7/2023).

ADVERTISEMENT

"Sudah lama sekali, lebih dari 6 tahun. Dulunya kita kegiatannya persamu untuk menyambut Tahun Baru Hijriah. Perkemahan satu Muharram, tapi kemudian seiring perkembangan zaman, ada dawuh dawuh dari simbah kyai juga, akhirnya kegiatan persamu kami ubah formatnya menjadi grebeg suro ini," sambungnya.

Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023).Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

Ia menjelaskan bahwa jumlah kendi tersebut 40 seperti halnya filosofi orang suluk dalam tradisi pesantren dalam belajar ilmu agama. Yakni minimal harus selama 40 hari.

"Jumlah 40 itu sebagai pertanda karena biasanya di dunia suluk pesantren itu untuk melaksanakan istilahnya itu suwito, belajar agama itu, paling tidak setidak-tidaknya itu 40 hari. Jadi ritualnya dilakukan selama 40 hari," terangnya.

"Kemudian air tersebut berasal dari air berkah kasepuhan sumur simbah buyut M Hadi yang pertama kali dibuat bersamaan dengan Masjid Girikesumo, ada di samping masjid. Kemudian sebelum dikirab itu sebelumnya sudah dibacakan mujahadah bersama-sama oleh segenap dewan guru yang ada di Pesantren Girikesumo, sehingga harapannya bisa bertawasul mendapatkan berkah untuk semuanya," imbuhnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Selain itu, lanjutnya, filosofi dari jumlah gunungan empat yakni simbol jumlah penanda angin. Ajaran tersebut sudah ada sejak pesantren pertama didirikan.

"Filosofi dari 4 gunungan itu adalah kita bersyukur dan bersedekah karena sedekah itu kan bisa menolak balak. Empat itu wujud dari empat arah, utara, selatan, barat, timur," tuturnya.

"Jadi kami berupaya mengolaborasikan filosofi-filosofi yang ada di kasepuhan Jawa dan kita padukan dengan nilai nilai ajaran agama Islam, yang memang sudah diajarkan sejak dulu pertama mulai simbah buyut M Hadi," sambungnya.

Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023).Kirab Grebeg Suro di Dukuh Girikesumo, Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak, Selasa (18/7/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

Ia menambahkan bahwa Pesantren Girikesumo berdiri sejak tahun 1828. Yakni berdiri masjid untuk mengajarkan tariqoh.

"Sejarah singkat pesantren Girikesumo sekaligus dusun ini dulu pertama kali memang yang mendirikan dan membuka adalah simbah buyut M Hadi, tepatnya 1828 Masehi," ujarnya.

"Pertama kali yang didirikan itu yang sampai saat ini belum berubah itu masjid yang bagian paling dalam. Pertama kali yang ikut belajar di sini relatif memang santri santri tariqoh, karena simbah buyut M Hadi menyebarkan tariqoh kholidiyyah naqsabandiyyah," pungkasnya.

Sementara itu satu pengunjung, Tri Kurniawati Syafaah (42), mengatakan bahwa dirinya pertama kali mendatangi kegiatan grebeg suro tersebut. Ia turut berebut gunungan hasil bumi.

"Baru kali ini datang, niat awal mau jenguk anak yang sedang mondok di pesantren Girikesumo. Dapat sayuran, jagung, cabai, dan kangkung," ujar Nia warga Mranggen.

Halaman 2 dari 2
(rih/aku)


Hide Ads