Kesenian jathilan merupakan salah satu kesenian yang telah lama tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Jogja dan sekitarnya. Jathilan dimainkan oleh para penari dengan mengempit kuda yang terbuat dari anyaman bambu sebagai objek sajian.
Secara etimologis istilah jathilan berasal dari bahasa Jawa yakni njathil yang berarti meloncat-loncat menyerupai gerak-gerik kuda. Selain itu, jathilan juga dapat diartikan sebagai 'jarane jan thil-thillan tenan' apabila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti 'kudanya benar-benar joget tidak beraturan'.
Berikut ini penjelasan mengenai asal usul, makna, hingga gerakan jathilan, dikutip detikJateng dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI, Selasa (30/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal Usul Jathilan
Terdapat berbagai macam versi mengenai asal-usul dari tarian jathilan. Pertama, ada yang menyebutkan bahwa tarian jathilan merupakan bentuk perpaduan dari tarian reog dengan tarian kuda yang ada di dalamnya. Kedua, berdasarkan cerita-cerita yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat menyebutkan bahwa tarian jathilan memiliki usia yang sama dengan tari reog Ponorogo.
Selain itu, ada yang menyebutkan bahwa tarian jathilan yang menggunakan properti kuda tiruan dari bambu merupakan bentuk apresiasi dan dukungan dari masyarakat pada zaman dahulu terhadap perjuangan pasukan berkuda dari Pangeran Diponegoro dalam menghadapi para penjajah.
Sementara itu, menurut versi selanjutnya menjelaskan bahwa tarian jathilan adalah bentuk gambaran mengenai kisah perjuangan dari Raden Fatah dari Kerajaan Demak, yang dibantu oleh wali songo dalam melakukan penyebaran ajaran agama Islam di pulau Jawa. Ketika melakukan dakwah, mereka banyak diganggu oleh bangsa jin dan setan yang membuat kesurupan dan kemudian ditolong oleh wali.
Versi terakhir menyebutkan bahwa tarian jathilan merupakan tarian yang mengisahkan mengenai latihan perang yang dipimpin secara langsung oleh Pangeran Mangkubumi yang memiliki gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I seorang raja yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta kala berhadapan dengan tentara Belanda.
Makna Jathilan
Tari jathilan memiliki makna dan arti yang berbeda-beda dan cukup bervariasi. Ada yang menyebutkan bahwa dalam tarian jathilan banyak menyajikan atau menempatkan kuda sebagai objek sajian. Penggunaan kuda adalah sebagai simbol yang memiliki makna khusus. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa kuda sebagai perwujudan binatang totem yang memiliki kekuatan yang dapat dijadikan sebagai spirit dalam kehidupan.
Selain itu, binatang kuda juga diartikan sebagai bentuk kekuatan yang dapat dimaknai sebuah kenikmatan karena apabila dilihat dari fisiknya kuda memiliki kekuatan yang luar biasa. Sementara secara substansial makna kuda dipahami oleh masyarakat Jawa berkaitan dengan mantra-mantra seperti jaran penoleh dan jaran goyang. Sehingga, gambaran tersebut menjadikan kuda berkesan erotik, selain terdapat kekuatan dan keberanian yang berlebihan.
Berdasarkan dua konsep pemaknaan tersebut, maka secara universal kuda dapat diterima sebagai lambang yang memiliki arti kekuatan lahir batik pada masyarakat.
Tujuan Jathilan
Tarian jathilan diawal pementasannya memiliki dua tujuan, yakni sebagai sarana atau media menghibur masyarakat setempat dan dimanfaatkan sebagai media untuk menyatukan masyarakat untuk melawan segala bentuk penindasan.
Gerakan Jathilan
Jathilan sebagai tari kuda-kudaan menampilkan figur penari yang mengempit anyaman bambu atau kulit yang berbentuk kuda dan kemudian menirukan gerakan kuda atau penunggang kuda. Secara umum gerakan dalam tarian ini cukup energik terlebih ketika penari sudah kerasukan.
Berikut ini sejumlah gerakan dalam tari jathil, dikutip dari skripsi 'Makna Simbolik Gerak Tari Jathilan Warokan di Dusun Dukuh Seman Desa Wonosari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung' oleh Danik Agustiarwati, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (2013).
Tanjak, jengkeng, sembah, gerakan kiprah, lampah mletik, derap congklang, malang kadhak, kentrik, kleyepan, tepusan, suntukan, ombak bayu, tepusan, minak sigan, tegap berdiri, lendhitan gerak, kendheran, kagolan, kentrik, kentrik mungah, kentrik mudhun, sembiran sirik, lampah maju, lampah mbalik, sendalan, lampah balik kebelakang, lampah balik kedepan, adu lawan, adu toyak, dan kendheren lari.
Artikel ini ditulis oleh Noris Roby Setiyawan peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(apl/ahr)