Kisah Penari Lengger Lanang, Seni Lintas Gender yang Bertahan di Pedesaan

Kisah Penari Lengger Lanang, Seni Lintas Gender yang Bertahan di Pedesaan

Vandi Romadhon - detikJateng
Sabtu, 12 Nov 2022 06:30 WIB
Kolaborasi ronggeng dan lengger Banyumas di Banyumas, Selasa (20/9/2022).
Kolaborasi ronggeng dan lengger Banyumas di Banyumas, Selasa (20/9/2022). Foto: Vandi Romadhon/detikJateng
Banyumas -

Kesenian lengger lanang khas Banyumas masih tetap bertahan hingga ratusan tahun. Kesenian lintas gender ini sudah tercatat dalam Serat Centhini yang ditulis ratusan tahun silam.

Tarian ini berbeda dengan lengger pada umumnya yang dibawakan oleh penari wanita. Dalam kesenian lengger lanang, penarinya adalah seorang pria yang membawakan gerak dan berkostum seperti seorang wanita.

Salah satu pelaku seni lengger lanang yang masih tetap eksis adalah Mas Piko. Usianya baru 22 tahun. Namun, di usia muda itu dia sudah menjadi salah satu penari lengger lanang terkenal di Banyumas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya masih aktif menjadi lengger, meski untuk regenerasi di kalangan muda agak terhambat. Karena pandangan anak-anak muda menganggap menjadi lengger ini katrok, ndeso, padahal kalau tidak ada penerusnya kan bisa hilang," kata Piko, Kamis (10/11/2022).

Menurutnya, menjadi seorang lengger membutuhkan kesiapan tersendiri lahir dan batin. Karena stigma masyarakat umum tidak jarang menganggap menjadi lengger lanang merupakan hal yang diluar kewajaran.

ADVERTISEMENT

Sebab, saat berpentas, mereka berperilaku seperti seorang perempuan. Meski demikian, lanjutnya, hingga kini dia belum pernah mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat maupun penontonnya.

"Meski selama ini aman ya, tidak ada perlakuan buruk yang saya alami. Tapi menjadi lengger lanang ini siap-siap dibilang ndeso karena laki-laki berdandan layaknya perempuan," ujarnya .

Meski menjadi konsumsi masyarakat kelas bawah, lengger lanang hingga kini masih tetap eksis. Masih banyak masyarakat yang mengundang kesenian lengger lanang saat menggelar hajatan.

"Tanggapan cukup banyak, dalam sebulan saya sendiri bisa 7 sampai 8 kali," kata Piko.

"Yang mengundang paling banyak masyarakat dari kalangan biasa," tuturnya.

Dalam makalah yang disampaikan pada kegiatan Sosialisasi dan Penayangan Film Dokumenter di Kabupaten Banyumas pada 2015, Ahmad Tohari menulis akar kesenian lengger dipercaya berawal dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburan yang dulu dilakukan oleh masyarakat Hindu.

"Jadi pada awalnya adalah sebuah ritus yang sakral," tulis Ahmad Tohari dalam makalah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta itu.

Namun ritus ini kemudian berkembang di tengah para petani yang juga sangat memuja dewi kesuburan. Maka pada masa lalu tari lengger dipentaskan sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen.

Tohari menyebut lengger lanang sebagai seni transgender yang keberadaannya telah disebut dalam Serat Centhini. Di 2015, Ahmad Tohari mencatat di Banyumas masih ada tujuh penari lengger lanang yang masih berusia muda.




(ahr/dil)


Hide Ads