Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengingatkan kepala daerah agar tidak menunda penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, ada kepala daerah yang menunda penerbitan PBG karena takut PAD berkurang.
Diketahui, pemerintah sedang menggratiskan retribusi PBG khusus untuk rumah MBR. Menurut Tito, keliru jika ada kepala daerah berpikir hal itu bakal mengurangi pendapatan asli daerah atau PAD.
"Ada kepala daerah yang sudah mau menerbitkan perkada (peraturan kepala daerah), tapi tidak mensosialisasikan, tidak menerapkan. Mungkin dia nggak tahu, atau anak buahnya ngajukan perkada, tapi dia nggak tanda tangan," kata Tito di MAC Ballroom Semarang, Kecamatan Gayamsari, Rabu (5/11/2025) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Atau dia pikir kalau nanti diterapkan, PAD-nya berkurang, salah. PAD-nya memang satu kali dia nggak bayar. Tapi nanti tahun depan dia harus bayar pajak bumi dan bangunan," ujarnya.
Dia mengatakan banyaknya pembangunan rumah akan semakin menguntungkan daerah tersebut.
"Dia bisa menghidupkan ekonomi. Itu juga akan menguntungkan dia. Karena kepala daerah itu kan diukur juga keberhasilan dia oleh rakyat, oleh DPR, oleh pemerintah pusat. Kalau bisa menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran," lanjutnya.
Tito menegaskan, penerapan PBG sangat penting untuk mempercepat pembangunan rumah MBR. Jika kepala daerah tidak menerapkan, masyarakat akan kesulitan mengakses program rumah subsidi.
"Program 3 juta rumah ini bisa sangat bisa untuk menurunkan kemiskinan. Orang punya rumah kan otomatis dianggap nggak miskin lagi," ujarnya.
"Yang tidak punya rumah nanti nggak bisa mendapatkan fasilitas ini. Mereka mungkin bangun rumahnya dengan harga yang mahal," lanjutnya.
Sementara itu, Gubernur Jateng, Ahmad Luthfi mengakui ada sejumlah daerah yang belum memproses penerbitan PBG. Menurutnya, salah satu penyebabnya karena ada kesalahpahaman soal siapa yang boleh mengajukan.
"Ada kepala daerah yang memerintahkan dinasnya, yang harusnya penerimaan manfaat itu kan harusnya bisa diproses, karena pengajuannya bukan dari pengembang. Padahal penerima manfaat itu boleh mengajukan langsung, tidak harus pengembang," kata Luthfi.
Dia menyebut, backlog atau kekurangan rumah di Jateng saat ini mencapai sekitar 1,33 juta unit. Dari jumlah itu, 1 juta rumah masuk kategori tidak layak huni.
"Upayanya yang 1 juta itu adalah RTLH, kita sudah memprogramkan per tahunnya 17 ribu rumah. Untuk triwulan ini, 150 rumah itu karena ada beberapa yang ikut," ungkapnya.
"Ada beberapa kepala daerah yang memerintahkan dinasnya. Karena yang mengajukan pengembang, dia nggak diproses. Lah ini ada kesalahannya, harus kita luruskan," tuturnya.
Menurutnya, persepsi keliru ini harus segera diluruskan agar masyarakat yang ingin memanfaatkan program rumah layak huni tidak terhambat.
"Bahwa penerima manfaat boleh mengajukan, tidak harus pengembang. Sehingga MBR itu boleh diajukan oleh personal, tidak harus pengembang," ungkapnya.
Luthfi menjelaskan, Pemprov Jateng telah menyiapkan program pembangunan rumah layak huni untuk menekan angka backlog. Tahun ini, Pemprov menargetkan pembangunan 17 ribu rumah baru bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
"Upayanya satu di antaranya yang 1 juta itu adalah RTLH, kita sudah memprogramkan per tahunnya 17 ribu rumah. Untuk triwulan ini, 150 rumah, karena ada beberapa yang ikut," ucapnya.
Simak Video "Video: Menteri PKP-Mendagri Tinjau Pengurusan BPHTB & PBG Rumah MBR di MPP Semarang"
[Gambas:Video 20detik]
(afn/afn)











































