Pakar Ekonomi Undip soal Tarif Trump 19%: Industri Dalam Negeri Akan Kolaps

Pakar Ekonomi Undip soal Tarif Trump 19%: Industri Dalam Negeri Akan Kolaps

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Sabtu, 19 Jul 2025 00:02 WIB
Pakar ekonomi internasional Universitas Diponegoro (Undip), Dr. Wahyu Widodo, SE, M.Si, di Kampus Undip Kecamatan Pleburan, Kota Semarang, Jumat (18/7/2025).
Pakar ekonomi internasional Universitas Diponegoro (Undip), Dr. Wahyu Widodo, SE, M.Si, di Kampus Undip Kecamatan Pleburan, Kota Semarang, Jumat (18/7/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo, menyoroti kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif 19 persen terhadap sejumlah produk asal Indonesia, sementara Amerika tak membayar sepeser pun. Menurutnya, kebijakan itu bisa membuat industri dalam negeri kolaps sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pakar ekonomi internasional itu menilai tarif baru Trump berpotensi memukul daya saing produk Jateng di pasar Amerika, sekaligus mengancam stabilitas industri padat karya. Terlebih, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah menjadi tulang punggung ekonomi dan serapan tenaga kerja di Jateng.

"Yang jadi pertanyaan adalah seberapa rasional tarif itu. Kalau tarif itu terlalu tinggi, memangnya produsen domestik sanggup menerima kenaikan harga? Kalau tidak, yang terjadi macet ekspornya," kata Wahyu di Kampus Undip, Kecamatan Pleburan, Jumat (18/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mungkin nggak jadi ekspor ke sana. Dampaknya ke industri domestik kita, karena berarti kita nggak jadi produksi dan tidak mengekspor. Nah, tenaga kerja menjadi tidak bekerja di TPT, kecuali kita mampu menggeser ke pasar yang lain," lanjutnya.

Menurutnya, penerapan tarif Trump menjadi permasalahan yang kompleks. Mayoritas produk Jateng yang diekspor ke AS adalah berdasarkan pesanan. Indonesia disebut belum punya posisi tawar kuat dalam perdagangan global, kecuali pada produk-produk yang sangat spesifik.

ADVERTISEMENT

Itu sebabnya, lanjut dosen di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip itu, ketika AS menetapkan tarif 19 persen, beban tambahan ini akan langsung terasa bagi industri lokal, terutama di sektor tekstil yang margin labanya tipis.

Tak hanya dari sisi ekspor, Wahyu juga mengingatkan soal bahaya produk-produk impor dari AS yang masuk tanpa hambatan ke Indonesia. Ia menyebut produk pertanian dan hasil tembakau dari AS bisa menjadi pesaing serius bagi petani dan pabrikan dalam negeri.

"Yang akan diimpor dari sana kan ada produk pertanian, minyak, rokok. Itu akan berkompetisi dengan industri dalam negeri, yang ini lebih berbahaya. Karena bisa jadi industri dalam negeri itu akan kolaps," jelasnya.

"Kalau ini berkepanjangan dan produk domestik tidak bisa berkompetisi dengan produk mereka, ini yang justru harus diantisipasi. Rokok, tembakau, kan itu produk kita," sambungnya.

Wahyu yang kerap membuat penelitian terkait ekonomi internasional itu juga membandingkan situasi ini dengan kasus kedelai di era 1990-an. Indonesia disebut sempat mandiri, tapi akhirnya kalah bersaing karena keterbukaan perdagangan global.

"Sebenarnya Indonesia bukan tidak bisa memproduksi kedelai, kita masih cukup kompetitif. Tapi sebagai konsekuensi perdagangan internasional yang terbuka, kita sama-sama harus menerima itu," tuturnya.

Menjawab tantangan ini, Wahyu menyarankan dua langkah besar yang harus segera dilakukan. Pertama, pengusaha perlu melakukan penetrasi pasar ke kawasan lain seperti Eropa, Timur Tengah, atau Afrika. Namun upaya ini butuh dukungan data dan riset yang kuat, bukan sekadar promosi pameran.

"Kita lemah di market intelligence. Kita harus tahu kebutuhan dan perilaku konsumen tiap negara. Misalnya, kalau kita jual minuman saset ukuran kecil ke Afrika, belum tentu cocok karena badan mereka juga lebih besar," jelas Wahyu.

Kedua, pemerintah harus terus bernegosiasi dan mungkin melakukan renegosiasi tarif dengan AS agar bisa lebih rasional. Jika tidak, Indonesia bisa kehilangan sebagian besar pasar ekspor andalannya.

"Langkah pemerintah yang terbaik negosiasi dan renegosiasi dengan berbagai macam pendekatan, agar tarifnya serasionalitas mungkin yang ditetapkan untuk produk kita yang ke Amerika," kata Wahyu.

Meski situasi terlihat mengkhawatirkan, Wahyu menegaskan, peluang masih terbuka selama ada kesiapan dari pengusaha dan pemerintah. Ia juga menyebut, kebijakan tarif Trump bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung tekanan politik domestik AS dan dinamika global.

"Sekarang kita tinggal menunggu perkembangan terakhir, ini kan sifatnya dinamis. Nanti akan ada perubahan lagi. Jadi ya kita harus legowo menerima style-nya Presiden Amerika yang sekarang, dengan ketergantungan kita ke mereka," tuturnya.

Sebelumnya dilansir detikNews,Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Selasa (15/7) menyatakan bahwa AS akan mengenakan tarif sebesar 19 persen atas barang-barang asal Indonesia dalam kesepakatan baru antara kedua negara. Trump juga menyebut akan ada lebih banyak perjanjian menyusul, sembari mengumumkan rencana tarif untuk produk farmasi yang diimpor ke AS.

"Mereka akan membayar tarif 19%, sementara kita tidak membayar apa pun. Kita akan mendapat akses penuh ke Indonesia, dan kita punya beberapa perjanjian lain yang akan segera diumumkan," ujar Trump di luar Kantor Oval.




(apl/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads