Klarifikasi Kanwil DJP Jateng II soal Tunggakan Pajak Pengepul Susu Boyolali

Klarifikasi Kanwil DJP Jateng II soal Tunggakan Pajak Pengepul Susu Boyolali

Ahmad Rafiq - detikJateng
Jumat, 15 Nov 2024 17:57 WIB
Pramono
Pemilik UD Pramono Boyolali, Pramono. Foto: Jarmaji/detikJateng
Solo -

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jateng II akhirnya angkat bicara soal polemik tunggakan pajak pengepul susu Boyolali UD Pramono. Mereka menyebut langkah-langkah yang dilakukan oleh petugas pajak sudah sesuai ketentuan.

Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Kanwil DJP Jateng II Etty Rachmiyanthi. Dia menyebut hal tersebut perlu diluruskan agar tidak muncul pemahaman yang keliru pada masyarakat.

Dia mengklarifikasi pernyataan Pramono yang mengaku bingung dan keberatan dengan adanya tunggakan pajak Rp 671 juta yang menimpanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dapat kami jelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan terdapat mekanisme pembahasan hasil temuan pemeriksaan antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak," kata Etty Rachmiyanthi dalam keterangan tertulisnya yang diterima detikJateng, Jumat (15/11/2024).

Dia menyebut wajib pajak yang merasa keberatan dengan temuan itu dan bisa memberikan bukti pendukung maka dapat mengurangi jumlah pajak terutang.

ADVERTISEMENT

Selain itu, Etty juga menanggapi cerita Pramono yang mengaku sempat ditawari untuk membayar dengan nominal tertentu agar tunggakannya dianggap lunas. Pramono pun mengaku telah membayar dengan nominal tertentu.

Menurut Etty, dalam sistem pajak, terdapat kewajiban pemenuhan pembayaran pajak penghasilan tiap tahun pajak. Artinya, membayar pajak memang merupakan kewajiban setiap tahun.

"Dalam pelaksanaan tugas, DJP tidak melakukan praktik tawar-menawar dan senantiasa menjunjung tinggi kode etik yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Etty.

Diberitakan sebelumnya, UD Pramono yang merupakan salah satu badan usaha pengepul susu di Boyolali terancam tutup buntut tagihan pajak Rp 671 juta yang berujung kepada pemblokiran rekening bank.

Pramono mengatakan, tagihan pajak dari KPP Pratama sebesar 671 juta itu merupakan tagihan di tahun 2018. Tahun 2021 dia mendapat surat dari kantor KPP Pratama Solo.

Pramono mengungkapkan, sejak memulai usahanya pada 2015, ia membayar pajak per tahunnya sebesar Rp 10 juta. Dia mengaku meminta tolong kepada pegawai pajak untuk menghitungkan pajaknya karena dia hanya lulusan SD, jadi tidak bisa mengurus administrasinya.

Kondisi itu berlanjut hingga pada 2019, dia tidak pernah menerima komunikasi dari kantor pajak di handphone-nya. Dia mengira urusan pajaknya sudah selesai dan sudah dipotong dari hasil penjualannya.

Begitu juga dengan 2020, dia mengira urusan sudah selesai terkait perpajakan karena tidak menerima telepon dari kantor pajak. Hingga di 2021, dia menerima surat dari kantor KPP Pratama Solo.

"Saya dipanggil ke Solo, dikenakan Rp 2 miliar. Saya nggak tahu, pikiran saya cuma candaan saja. Dipanggil lagi, saya lupa (kapan), dipanggil lagi, dikenakan pajak 671 juta. Saya nggak sanggup. Disuruh nawar saya nggak sanggup, kan nggak masuk akal," kata Pramono.

Pramono menyatakan siap membayar pajak. Sejak awal hingga tahun 2024 ini dirinya juga aktif membayar pajak ke KPP Pratama. Dia menyatakan taat pajak.

"Tapi caranya orang yang nggak punya kemampuan pendidikan administrasi itu, saya minta dipotong saja. Berapa saja saya mau. Kalau orang-orang seperti saya itu berilah kelonggaran aturan," ucapnya.




(ahr/aku)


Hide Ads