Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) tengah memperkuat sistem pengolahan sampah di Kecamatan Mranggen. Kawasan ini menghadapi tantangan geografis karena letaknya jauh dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), sehingga volume sampah yang tinggi berpotensi menumpuk jika tidak dikelola secara mandiri di wilayah tersebut.
Sekretaris DLH Demak, Sudarwanto menjelaskan bahwa penguatan peran bank sampah menjadi langkah penting untuk menjawab kondisi ini. Dengan jumlah penduduk sekitar 157 ribu jiwa, Mranggen menghasilkan sekitar 75 ton sampah per hari.
"Kecamatan Mranggen itu penduduknya sekitar 157 ribu, berarti sehari sekitar 75 ton sampahnya. Ini kan luar biasa, kalau tidak ada pengolahan di sana, ya sudah sampah itu akan tercecer di mana-mana dan cost-nya juga tinggi (untuk mengangkut ke TPA)," kata Sudarwanto saat ditemui detikJateng di kantornya, Kamis (4/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain jarak, armada dan waktu tempuh menuju TPA Berahan Kulon juga menjadi kendala. Pengangkutan sampah dari Mranggen dan Karangawen hanya dapat dilakukan dua kali dalam sehari.
"Masyarakat Mranggen, Karangawen, itu kan jauh dari TPA. Tentunya pihak-pihak ketiga jasa pengambilan sampah itu kan jauh. Sampai di (TPA) Berahan Kulon itu paling enggak satu hari itu dua rit saja sudah sampai magrib," lanjutnya.
Untuk memperkuat kapasitas pengolahan, DLH Demak membangun fasilitas pengolahan sampah di Desa Kebonbatur. Fasilitas ini telah dilengkapi dengan insenerator yang berasal dari CSR Bank Jateng.
"Solusinya kita harus mendirikan, harus membuat pengolahan di Kebonbatur untuk menjawab permasalahan sampah yang di wilayah Mranggen itu," ujar Sudarwanto.
"Alhamdulillah kita sudah mendapatkan alat insenerator yang bisa membakar sekitar 3-6 ton per hari dari CSR Bank Jateng yang difasilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi," tambahnya.
Tidak hanya mengandalkan fasilitas besar, DLH juga ingin menumbuhkan pengelolaan sampah mandiri di masyarakat. Sudarwanto menekankan pentingnya mempertahankan budaya lokal dalam memilah dan mengolah sampah, termasuk dengan prinsip PPO (pugut, pilah, olah).
"Meskipun ada fasilitas seperti itu (tempat pengolahan sampah), tapi bagaimana caranya agar masyarakat bisa mempertahankan kearifan lokalnya untuk mengelola, memilah sampah dengan PPO atau pugut, pilah, olah," jelasnya.
Selain masyarakat, pemerintah desa juga didorong ikut berperan. Desa diminta menyusun anggaran khusus atau bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menangani sampah, terutama jenis sampah yang sulit ditangani secara mandiri.
"Desa harus menganggarkan dana desa untuk pengelolaan sampah di tingkat desa. Minimal, yang (sampah seperti) pampers selesaikan (pakai) insenerator. Kalau memang ada anggaran APBD ya kita beri APBD. Kalau memang tidak ada, banyak perusahaan-perusahaan yang pasti mau (bekerja sama)," katanya.
DLH Demak berharap berbagai langkah ini dapat mempercepat penyelesaian persoalan sampah di Mranggen. Dengan pengolahan yang lebih optimal, Sudarwanto menilai masyarakat juga bisa merasakan manfaat langsung, khususnya dalam menekan biaya pengelolaan sampah.
(akn/ega)











































