Buruh Demo di Depan Kantor Gubernur Jateng Desak UMP Naik 15 Persen

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Jumat, 21 Nov 2025 17:34 WIB
Buruh yang tergabung dalam KASBI menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Jateng, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Jumat (21/11/2025). (Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Semarang -

Aliansi buruh di Kota Semarang menggelar aksi menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Mereka meminta UMP naik 15 persen dari Upah Minimum Kota (UMK) Semarang.

Pantauan detikJateng, Jumat (21/11/2025), massa menggelar aksi di depan gerbang kompleks kantor Gubernur Jateng di Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan.

Massa yang mengenakan seragam merah berlogo KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) itu membawa poster bertulisan 'Tolak Upah Murah', 'Wujudkan Upah Layak Bagi Pekerja/Buruh Beserta Keluarganya', serta 'Naikkan Upah Buruh Jawa Tengah di Atas 15 Persen'.

Salah satu peserta aksi, Agus Daryanto (48) mengatakan buruh meminta pemerintah menaikkan UMP hingga 15 persen. Menurutnya, upah selama ini hanya mempertimbangkan kebutuhan buruh lajang, bukan buruh yang memiliki tanggungan keluarga.

"Sesuai kesepakatan dari teman-teman itu inginnya UMP naik 15 persen dari UMK Kota Semarang," kata Agus kepada detikJateng, Jumat (21/11/2025).

"Yang diperjuangkan pemerintah sama perusahaan itu cuma untuk yang lajang. Padahal banyak teman-teman yang sudah berkeluarga, itu gajinya nggak cukup," lanjutnya.

Agus yang kini bekerja di Kaligawe itu mengatakan, besaran gaji yang diterimanya saat ini hanya cukup untuk kebutuhan paling dasar.

"Gaji itu cuma cukup untuk makan dan transport. Saya satu keluarga ada tiga orang, ada istri, anak. Itu pun mepet," ungkapnya.

"Setiap keluarga beda-beda juga bebannya. Ada yang harus bantu orang tua, ada yang punya dua atau tiga tanggungan. UMK sekarang belum cukup," lanjutnya.

Menurut Agus, kenaikan upah tahun-tahun sebelumnya juga sangat kecil, hanya berkisar 3,5 persen. Padahal, menurutnya gaji warga Kota Semarang sudah paling kecil jika dibanding kota-kota metropolitan lainnya.

"Dulu naik paling 3,5 persen. Makanya sekarang kami minta 10-15 persen," ujarnya.

Hal senada dikatakan peserta demo lainnya, Saiful (38). Ia menyebut Jateng memiliki salah satu UMP terendah di Indonesia, yakni sekitar Rp 2,1 juta.

"Meski mengalami kenaikan 6,5 persen dari tahun sebelumnya, upah di Jateng tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, maupun Bandung yang memiliki UMP jauh di atas angka tersebut," ungkapnya.

Hal itu lantas membuat adanya ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Ia menduga rendahnya upah di Jateng ini dikarenakan faktor ekonomi daerah yang belum setara dengan kota-kota besar di Indonesia, kondisi pasar tenaga kerja, serta faktor ekspansi perusahaan yang cenderung memilih lokasi dengan biaya tenaga kerja lebih murah.

"Dampaknya, banyak perusahaan yang melakukan ekspansi ke Jawa Tengah demi efisiensi biaya, namun hal ini juga menyebabkan tekanan terhadap upah pekerja di daerah tersebut menjadi lebih rendah, sehingga dapat memicu ketimpangan dan ketidakadilan dalam distribusi penghasilan," tuturnya.

"Selain itu, ketimpangan antara upah di Jateng dan kota besar lainnya dapat memperkeruh persoalan ketenagakerjaan dan kesejahteraan pekerja, serta memperkuat stigma bahwa Jateng sebagai daerah upah murah," lanjutnya.

Ia bercerita, pekerja juga kerap diekspansi atau dipindahkan ke perusahaan yang berlokasi di daerah dengan UMK yang lebih rendah, meski tekanannya sama.

"Ada relokasi buruh dari Semarang ke Demak, upah lebih rendah di lokasi baru. Ongkos transportasi dan kebutuhan tempat tinggal baru ditanggung pekerja. Beban hidup pekerja meningkat, upahnya tetap atau naik sedikit," tuturnya.

"Perusahaan memilih ekspansi ke Jateng karena biaya tanah dan sewa lebih murah, harga tanah dan tenaga kerja diobral supaya investor bisa investasi ke Jateng, upah tenaga kerjanya lebih rendah, kualitas tenaga kerja masih dianggap memadai," lanjutnya.

Oleh karenanya KASBI mengusulkan kesetaraan upah. Ia meminta dewan pengupahan Jateng menghitung upah secara riil dan mengubah konsep dari buruh lajang menjadi buruh yang berkeluarga.

"Dengan mengadopsi prinsip kesetaraan upah, penghitungan upah minimum di Jateng harus mempertimbangkan biaya hidup buruh yang berkeluarga, seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok yang berbeda dan lebih tinggi dari penghitungan untuk buruh lajang," jelasnya.



Simak Video "Video: Kecelakaan Karambol di Tol Gayamsari Semarang, 8 Orang Terluka"

(aku/dil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork