Setiap tanggal 31 Oktober, dunia ramai dengan perayaan Halloween dengan dari pesta kostum hingga dekorasi seram di setiap sudut kota. Tapi, tahukah kamu bahwa tradisi ini sebenarnya berakar dari festival kuno bangsa Celtic bernama Samhain, yang sudah ada sejak lebih dari dua ribu tahun lalu? Dari ritual untuk mengusir roh jahat, Halloween kemudian berkembang menjadi perayaan modern yang lebih bersifat hiburan dan budaya pop.
Namun, di tengah maraknya tren global ini, muncul pertanyaan penting bagi umat Islam, apakah boleh ikut merayakan Halloween? Meski kini sudah banyak yang menganggapnya sekadar hiburan, para ulama menilai perlu ada batas jelas antara budaya populer dan nilai-nilai keislaman agar tidak melenceng dari ajaran agama.
Untuk memahami asal-usul Halloween sekaligus pandangan Islam terhadapnya, simak ulasan berikut yang dirangkum dari laman History serta penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU) mengenai hukumnya bagi umat Islam.
Poin utamanya:
- Halloween berasal dari festival kuno bangsa Celtic bernama Samhain yang menandai peralihan musim dan dipercaya sebagai waktu roh-roh kembali ke bumi.
 - Gereja Katolik kemudian mengubahnya menjadi All Hallows' Eve sebelum berkembang menjadi perayaan sekuler seperti sekarang.
 - MUI dan NU sama-sama menegaskan bahwa umat Islam sebaiknya tidak ikut merayakan Halloween untuk menjaga kemurnian akidah dan adab keislaman.
 
Asal-usul Perayaan Halloween
Dirangkum dari laman History, Halloween berasal dari festival kuno bangsa Celtic bernama Samhain. Festival tersebut dirayakan lebih dari 2.000 tahun lalu di wilayah yang kini dikenal sebagai Irlandia, Inggris, dan Prancis Utara.
Pada masa itu, masyarakat Celtic menandai pergantian tahun setiap 1 November, dan malam sebelumnya dianggap sebagai waktu ketika batas antara dunia orang hidup dan arwah menjadi kabur. Mereka percaya roh orang mati kembali ke bumi, sehingga untuk mengusirnya, mereka menyalakan api unggun besar dan mengenakan kostum dari kulit serta kepala hewan.
Ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan wilayah Celtic sekitar tahun 43 M, dua perayaan Romawi, yaitu Feralia (hari memperingati arwah) dan festival untuk Pomona, dewi buah-buahan, bergabung dengan tradisi Samhain. Dari sinilah muncul berbagai simbol baru, seperti apel yang menjadi bagian dari permainan tradisional Halloween.
Pada abad ke-8, Paus Gregorius III menetapkan 1 November sebagai Hari Semua Orang Kudus (All Saints' Day), yang kemudian juga disebut All Hallows' Day. Malam sebelumnya dikenal sebagai All Hallows' Eve dan akhirnya berubah menjadi Halloween. Gereja berusaha menggantikan tradisi pagan dengan perayaan Kristen, namun unsur-unsur lama seperti kostum dan api unggun tetap bertahan.
Ketika imigran Eropa, terutama dari Irlandia, datang ke Amerika pada abad ke-19, mereka membawa tradisi Halloween bersama mereka. Di Amerika, perayaan ini berkembang menjadi acara komunitas dengan permainan, makanan musim gugur, dan kostum. Anak-anak mulai melakukan tradisi trick-or-treat, yaitu berkeliling dari rumah ke rumah meminta permen atau hadiah kecil.
Memasuki abad ke-20, Halloween semakin menjadi perayaan sekuler dan komersial, dengan fokus pada pesta, kostum, dan dekorasi bertema seram. Kini, Halloween dirayakan di banyak negara dengan cara yang lebih modern dan ringan, tanpa makna spiritual seperti asalnya dulu. Tradisi seperti carving jack-o'-lanterns, pesta kostum, dan film horor menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan yang identik dengan tanggal 31 Oktober setiap tahunnya.
Apakah Umat Islam Boleh Merayakan Halloween?
Perayaan Halloween yang jatuh setiap 31 Oktober menjadi fenomena global yang kini juga mulai diikuti sebagian masyarakat Indonesia. Namun, sebagai umat Islam, perlu dipahami bahwa Halloween bukan bagian dari tradisi Islam, melainkan berasal dari kebudayaan Barat yang memiliki akar sejarah panjang dalam kepercayaan non-Islam.
Meski tidak lagi berkaitan langsung dengan ritual agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan agar umat Islam tidak serta-merta mengikuti tradisi yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh, menegaskan bahwa Islam menghargai keberagaman budaya, tetapi setiap ekspresi dan kebiasaan hendaknya tetap berada dalam koridor moral dan ajaran agama. Umat Islam dianjurkan untuk menjaga adab dan identitas keislaman, bukan meniru praktik yang berasal dari keyakinan lain.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU), hukum mengikuti atau meniru tradisi Halloween perlu dilihat dari niat dan bentuk pelaksanaannya. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: "Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka." (HR Abu Dawud)
Dalam penjelasan Aunul Ma'bud, para ulama menafsirkan hadits ini sebagai peringatan agar umat Islam tidak meniru perilaku, pakaian, atau simbol-simbol yang menjadi ciri khas kaum nonmuslim, terutama bila bertujuan meniru keyakinan mereka. Imam Al-Munawi dan Al-Alaqami menjelaskan bahwa menyerupai suatu kaum berarti meniru gaya hidup, cara berpakaian, atau kebiasaan mereka.
Sedangkan menurut Imam Al-Qari, siapa pun yang meniru gaya hidup orang kafir atau fasik karena rasa suka dan keinginan menyerupai, maka hukumnya berdosa bahkan bisa kafir jika disertai dengan pembenaran terhadap akidah mereka.
NU kemudian memberikan rincian sebagai berikut:
- Jika seseorang meniru orang kafir dalam rangka ikut menyemarakkan kekafirannya atau merasa senang terhadap keyakinannya, maka hukumnya kafir.
 - Jika seseorang hanya meniru tanpa niat ikut menyemarakkan keyakinannya, hukumnya berdosa.
 - Jika kemiripan itu terjadi tanpa sengaja atau bukan karena maksud meniru, hukumnya makruh.
 
Oleh karena itu, meskipun Halloween kini banyak dianggap sebagai hiburan, umat Islam dianjurkan untuk tidak turut merayakannya. Hal ini demi menjaga kemuliaan akidah dan tidak terjebak dalam budaya yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. NU menegaskan, alangkah baiknya jika umat Islam tidak ikut-ikutan merayakan pesta Halloween, Valentine, dan sebagainya, agar tetap menjaga kemuliaan dan kehormatan agama Islam.
Dengan demikian, merayakan Halloween tidak dianjurkan bagi umat Islam. Tradisi ini berasal dari budaya non-Islam dan tidak memiliki nilai ibadah dalam ajaran agama. Umat Islam sebaiknya menyalurkan semangat kebersamaan dan kegembiraan dengan cara yang sesuai dengan tuntunan syariat, agar tetap menjaga identitas dan kemuliaan iman. Semoga bermanfaat, detikers!
Simak Video "Video: Mengulik Asal-usul Tradisi Halloween"
(par/ams)