Momen menarik terjadi di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 22 Oktober 2025. Presiden Prabowo Subianto mengepalkan tangan dan menyerukan kata 'Amandla!' yang langsung disambut Presiden Afrika Selatan, Matamela Cyril Ramaphosa, dengan jawaban 'Awethu!'. Sekilas tampak sederhana, tetapi di balik pertukaran kata itu tersimpan sejarah panjang perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan sistem apartheid.
Seruan 'Amandla-Awethu' bukan sekadar salam kehormatan. Dalam bahasa Xhosa dan Zulu, 'Amandla' berarti kekuatan, sementara 'Ngawethu' atau 'Awethu' bermakna milik rakyat atau milik kita. Gabungan keduanya membentuk pesan kuat, kekuasaan adalah milik rakyat. Di masa perjuangan, seruan ini menjadi simbol perlawanan dan solidaritas, diteriakkan dalam rapat umum, protes, hingga pidato Nelson Mandela ketika memperjuangkan kesetaraan.
Kini, seruan yang lahir dari perjuangan kemanusiaan itu kembali terdengar di panggung diplomasi Indonesia-Afrika Selatan. Lantas apa makna mendalam di balik kata 'Amandla' dan bagaimana seruan ini menelusuri perjalanan panjang dari masa apartheid hingga menjadi simbol kekuatan rakyat yang menginspirasi dunia? Mari simak penjelasan yang dihimpun dari laman Irenees dan The Electronic Intifada berikut ini.
Poin utamanya:
- 'Amandla' berarti kekuatan, sedangkan 'Awethu' berarti milik kita, sebuah simbol solidaritas dan perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan penindasan apartheid.
- Seruan 'Amandla-Awethu' digunakan dalam gerakan anti-apartheid untuk menyatukan pemimpin dan massa dalam tujuan bersama: kekuasaan untuk rakyat.
- Dari 1950-an hingga era Nelson Mandela, seruan ini menjadi bahasa perlawanan yang kemudian diwariskan sebagai pesan universal tentang keadilan dan kesetaraan.
Baca juga: Urutan Pasaran Jawa yang Benar dan Wataknya |
Apa Arti Kata 'Amandla'?
Amandla berarti kekuatan atau power. Dalam tradisi perjuangan Afrika Selatan, seruan 'Amandla!' dijawab massa dengan 'Awethu!' yang bermakna 'milik rakyat' atau 'to the people'. Jadi, makna utuhnya adalah kekuatan milik rakyat.
Seruan ini merupakan kredo politik yang mencerminkan klaim bahwa kedaulatan, kepemilikan masa depan, serta hak untuk menentukan arah perubahan harus berpindah dari elite sempit kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, Amandla-Awethu berfungsi sebagai ritual pemersatu yang mengikat pemimpin dan massa dalam satu tujuan, yaitu transfer kekuasaan sosial dan politik agar rakyat memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Makna simbolik 'Amandla' juga menegaskan perbedaan antara transisi dan transformasi. Transisi adalah pergantian sistem pemerintahan, sedangkan transformasi adalah perubahan kualitas relasi kuasa di dalamnya. Amandla berdiri di pihak transformasi, bukan hanya mengganti rezim, tetapi mengubah struktur ketimpangan agar kekuatan benar-benar berpindah ke rakyat, bukan berhenti pada elite lama yang berganti warna atau elitisme baru.
Sejarah Seruan 'Amandla-Awethu'
Seruan 'Amandla' memiliki sejarah yang sangat panjang dan mendalam. Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini!
1. Gelombang Perlawanan Sejak 1950-an
Pada era 1950-an, Afrika Selatan, Namibia, dan Zimbabwe menempuh beragam cara untuk mengakhiri kekuasaan minoritas kulit putih. Dalam rentang ini, 'Amandla' tumbuh sebagai semboyan moral serta politik untuk mengalihkan kuasa kepada warga. Pertanyaan utamanya selalu sama, yakni siapa yang sesungguhnya diuntungkan oleh transfer kekuasaan dan seberapa luas hasilnya dirasakan rakyat.
Di tengah tuntutan itu, seruan 'Amandla' menghadirkan ukuran etis untuk menilai apakah perjanjian dan transisi benar-benar mengubah struktur kekuasaan, atau sekadar menjadi tirai asap yang membiarkan elite lama atau elite baru tetap mengendalikan tuas politik.
Gerakan pembebasan memahami bahwa transformasi sosial tidak berhenti pada perubahan rezim. Ia menuntut perubahan mendalam atas institusi dan identitas. Tokoh sastra dan jurnalis Antjie Krog menekankan bahwa transformasi menuntut perubahan inti, bukan permukaan. Di tengah arus itu, 'Amandla' berfungsi sebagai kompas yang menuntun perjuangan agar tetap bertumpu pada rakyat.
Di Afrika Selatan, 'Amandla' menjadi bahasa bersama untuk mengakui pergeseran peran komunitas. Kelompok kulit putih ditantang untuk melepaskan privilese, sedangkan komunitas kulit hitam belajar menegakkan posisi setara. Seruan ini menandai ajakan membuka diri pada kebenaran-kebenaran yang hidup berdampingan, sekaligus menolak cara pandang yang menyempitkan realitas.
2. Perlawanan Kesadaran
Pada Mei 1976, Steven Biko dan Gerakan Black Consciousness menajamkan landasan psikologis pembebasan. Mereka menilai bahwa penindasan tidak hanya datang dari perangkat hukum dan institusi, tetapi juga dari rasa rendah diri yang terinternalisasi.
Dalam bingkai itu, 'Amandla' menjadi seruan untuk memulihkan kesadaran diri, meneguhkan keyakinan bahwa rakyat berhak atas hidup yang lebih baik. Seruan ini menyatu dengan praktik membuat konflik menjadi terlihat melalui pembangkangan sipil agar kekerasan struktural tidak lagi tersembunyi.
Gerakan massa mengembangkan taktik non-kekerasan seperti mogok, libur massal, dan boikot sekolah. Di sini 'Amandla' menyatakan bahwa daya rakyat lahir dari keberanian kolektif yang menuntut ruang publik. Dengan cara ini, perlawanan tidak hanya menolak dominasi, tetapi juga merancang ulang pusat-pusat kuasa agar lebih partisipatif.
Pada fase ini, makna 'Amandla' semakin memperkaya strategi. Ia mendorong peralihan dari logika komando bersenjata menuju pelembagaan daya publik melalui aksi damai, media alternatif, dan ruang tanding yang keras kepala namun terbuka. Seruan itu menjaga agar kekuasaan tidak kembali memusat dan memaksa.
3. Hari Kebebasan Mandela dan Bahasa Negosiasi
Ketika Mandela bebas setelah 27 tahun dan memulai fase perundingan, 'Amandla' kembali menggema sebagai penegasan mandat. Seruan tersebut mengikat pengalaman pengasingan dan pemenjaraan dengan agenda negosiasi yang berpihak pada rakyat. Ia menjadi pengingat agar proses damai tidak berhenti pada serah terima jabatan, melainkan menata ulang relasi kuasa yang telah lama timpang.
Seruan 'Amandla' dalam momen itu mengawal transisi agar tidak berubah menjadi penggantian elite belaka. Ia menuntut agar kesepakatan politik mengalir ke perubahan sosial yang bisa dirasakan luas. Pada saat yang sama, seruan tersebut merawat disiplin moral, agar kekuasaan tidak direduksi menjadi hasrat merebut dan menimbun, tetapi kembali pada tujuan memulihkan martabat manusia.
Dalam perjalanan ini, 'Amandla' juga mengingatkan bahaya militerisasi dan kekerasan. Seruan tersebut menolak kekuasaan yang berporos pada paksaan, dan memilih daya yang lahir dari keyakinan, pengakuan banyak kebenaran, dan penguatan ekonomi warga. Dengan begitu, 'Amandla' menjaga arah transformasi agar tetap menuju keadilan.
4. Jembatan Lintas Pengalaman pada 1989 hingga Awal 2000-an
Pada 1989, Desmond Tutu menggambarkan situasi di Gaza dan Tepi Barat dengan kacamata pengalaman apartheid. Pernyataan itu tidak hadir untuk menyamakan segalanya, melainkan untuk menunjukkan kemiripan pola penyangkalan hak, disposesi tanah, dan dominasi aparat. Seruan 'Amandla' pun dibaca lintas konteks sebagai ajakan membangun kesadaran internasional atas ketidakadilan.
Pada 28 Desember 2004, refleksi tentang boikot sebagai dimensi moral perjuangan kembali menghidupkan pelajaran Afrika Selatan. Gagasan itu mengingatkan bahwa kekuasaan yang represif bisa dilemahkan bila ditantang secara sistematis. Di tingkat global, 'Amandla' menjadi simpul imajinasi politik yang mengajak solidaritas lintas batas untuk mencegah konsentrasi kuasa yang meminggirkan rakyat.
Dalam rentang waktu 2005 hingga 2010, wawancara dengan aktivis masyarakat sipil di Afrika Selatan, Zimbabwe, dan Namibia menunjukkan kesinambungan perjuangan untuk memindahkan kuasa kepada rakyat. Seruan 'Amandla' menjadi etos yang menjaga agar partai tidak disamakan dengan masyarakat, agar kebenaran tidak dimonopoli satu narasi, dan agar ekonomi warga diberdayakan sehingga masa depan tidak digadaikan pada patronase.
5. Gelombang Tuntutan Rakyat pada 1999 dan Sesudahnya
Pada 1999, di Zimbabwe, ketidakpuasan publik terhadap kemampuan partai berkuasa memenuhi janji perjuangan melahirkan konvensi luas. Resolusi tentang Zimbabwe yang diinginkan rakyat menjadi landasan berdirinya partai oposisi baru. Di sini, 'Amandla' terbaca sebagai dorongan menciptakan kendaraan politik alternatif ketika kanal resmi tidak lagi memadai.
Seruan itu menyertai tuntutan hak asasi manusia, akses tanah, dan akuntabilitas. Dalam dinamika selanjutnya, muncul pasang surut, termasuk kekecewaan ketika kolaborasi politik tidak menghasilkan perubahan bermakna. Meski demikian, 'Amandla' tetap menjadi pengingat bahwa kuasa bukan hadiah, melainkan harus diklaim melalui partisipasi, verifikasi kebenaran, dan keterbukaan terhadap banyak suara.
Pengalaman ini mengajarkan risiko transformasi pasca konflik. Ada bahaya kemunduran identitas yang lebih sempit, penggunaan kekerasan, militerisasi, dan pemusatan kuasa di tangan partai tunggal. Seruan 'Amandla' menjaga agar arah perubahan tetap mengalir ke rakyat dan memastikan ruang publik tidak dikunci oleh narasi resmi yang tunggal.
6. Pengakuan Kebenaran dan Pemulihan Martabat pada 2009
Pada 2009, di Namibia, upaya membongkar dinding kesenyapan tentang penyiksaan dan penghilangan paksa di masa perang pembebasan menunjukkan babak penting. Para penyintas menuntut pengakuan kebenaran meski berhadapan dengan arus besar yang ingin melupakan sisi gelap sejarah. Di sini, 'Amandla' berarti hak untuk berbicara, menuntut pencatatan sejarah yang jujur, dan menegaskan bahwa transformasi membutuhkan keberanian mengakui banyak kebenaran.
Seruan itu juga merambat ke gagasan pemberdayaan ekonomi warga. Tanpa kapasitas ekonomi, masa depan mudah tersandera. Karena itu, penguatan kompetensi warga untuk mengakses informasi publik, mengawasi anggaran, dan menuntut akuntabilitas menjadi jalan memulihkan daya. 'Amandla' tidak sekadar pekik di jalanan, tetapi praksis sehari-hari dalam mengubah keseimbangan kuasa.
Dari 1950-an hingga akhir 2000-an, 'Amandla' bergerak sebagai bahasa bersama yang menyatukan perjuangan di jalan, di ruang perundingan, dan di lorong-lorong pengakuan kebenaran. Istilah ini menautkan keberanian personal, strategi kolektif, dan daya warga untuk menata ulang masa depan.
Nah itulah tadi penjelasan lengkap mengenai 'Amandla' yang menjadi simbol diplomatik sekaligus gema sejarah perjuangan yang menegaskan bahwa kekuatan sejati selalu ada di tangan rakyat. Menarik bukan, detikers?
Simak Video "Video: Prabowo Kepalkan Tangan Berseru 'Amandla', Presiden Afsel Jawab 'Awethu'"
(par/aku)